Jumat, 13 Februari 2009

Filologi dan Khasanah pengetahuan Keislaman

Filologi dan Khasanah Pengetahuan Islam

Oleh : Fuad Munajat

1. Pendahuluan

Fenomena Islam di Indonesia merupakan suatu hal yang telah menarik perhatian para ahli terutama dari Barat untuk mengkajinya. Sudah sejak lama para Orientalis (para ahli ketimuran) mengamati fenomena tersebut dan dari tangan mereka lahir karya-karya yang tak terhitung jumlahnya. Aspek yang dikaji mereka pun sangat beragam meliputi hamper seluruh sisi kehidupan mulai dari bahasa, agama, sastra, sejarah dan lain sebagainya.

Salah satu sarana yang digunakan dalam menggali informasi tersebut adalah naskah-naskah kuna (dalam tulisan ini saya menggunakan kata-kata kuna dan lama dalam pengertian yang sama). Hal ini tidak mengherankan lantaran naskah-naskah tersebut memang menyimpan sejumlah informasi yang berkaitan dengan segala aspek kehidupan pada saat naskah tersebut ditulis.

Persoalan muncul ketika naskah-naskah lama dimaksud tidak bisa digunakan secara langsung akibat adanya perbedaan penggunaan idiom yang tidak lagi dikenal pada masa ini. Di samping itu sejumlah naskah terkadang sudah tidak dalam kondisi prima baik karena kerusakan tinta, kertas maupun sebab usia yang tidak mungkin dihindari.

Mengingat pentingnya informasi yang terkandung dalam naskah-naskah lama diperlukan upaya peningkatan kajian yang mengkhususkan diri pada naskah-naskah tersebut. Kajian yang dimaksud adalah kajian Filologi. Kajian ini sebenernya telah lama digunakan sarjana-sarjana Barat dalam menggali khasanah peninggalan masa lampau. Hanya saja perkembangan kajian ini dirasakan agak berjalan di tempat.

Beberapa kendala yang seringkali menjadi penghambat kajian semacam ini antara lain karena ketidakadaan tenaga ahli atau peneliti yang cukup sabar menggeluti bidang ini dan dibarengi fakta adanya sejumlah besar naskah-naskah lama yang sudah sangat menanti sentuhan pencinta naskah.

Selama ini pihak yang sangat menaruh perhatian pada naskah lama adalah mereka yang berasal dari luar Indonesia, terutama Eropa dan lebih khusus lagi Belanda. Hal ini tidak terlalu mengherankan mengingat Belanda memiliki hubungan yang sangat lama dengan Indonesia. Sebagai Negara penjajah Belanda memiliki koleksi naskah nusantara yang jumlahnya tidak terhitung dan bisa jadi lebih lengkap dari koleksi milik Indonesia sendiri.

Selain Belanda, Inggris juga memiliki koleksi naskah nusantara yang cukup besar menilik peran Gubernur Jendralnya, Raffles, yang selain seorang pejabat pemerintahan ternyata juga merupakan seorang ilmuan. Di samping dua Negara di atas masih ada Negara-negara lain seperti Jerman, Perancis, Rusia dan Amerika Serikat (Henry Chambert-Loir, 1999 : 8-9).

Kenyataan ini tentu memilukan karena naskah-naskah lama yang bisa dianalogikan sebagai harta karun bangsa ini ternyata tersimpan secara apik dan dalam jumlah yang sangat besar di luar negeri. Semakin memilukan lagi manakala kita mendapatkan kenyataan yang kedua bahwa naskah-naskah lama yang masih berada di Indonesia seringkali diselundupkan ke luar negeri oleh tangan-tangan jahil yang hanya menginginkan keuntungan pribadi. Hal ini ditambah lagi kepiluan lanjutan pada saat kita mengetahui bahwa naskah-naskah yang bisa diselamatkan dan sekarang tersimpan di museum-musium ataupun perpustakaan baik nasional maupun daerah, belum mendapatkan sentuhan hangat dari bangsa pemiliknya sendiri, bangsa Indonesia. Tentu sangat ironis.

2. Filologi di Nusantara

Secara harfiah filologi berasal dari dua kata Yunani philos dan logos. Kata pertama berarti ‘teman’ sedangkan kata yang kedua berarti ‘pembicaraan’ atau ‘ilmu’, sehingga tidak salah kalau secara sederhana filologi memiliki konotasi yang kurang lebih sebagai ‘senang berbicara’ atau ‘senang belajar’, ‘senang kepada tulisan-tulisan’ dan kemudian menjadi ‘senang kepada tulisan-tulisan yang bernilai tinggi’ (Baroroh Baried dkk., 1994 :2).

Sementara itu kata filologi secara istilah digunakan sebagai penyebutan untuk keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan tulisan yang berasal dari kurun waktu yang telah lama. Sebagai istilah, kata filologi pertama kali digunakan di Iskandariyah pada abad ketiga sebelum masehi(Baried dkk., ibid).

Pada masa itu Erastothenes (Abad ke-3 SM) mencoba mengkaji kembali naskah-naskah yang berasal dari abad ke delapan sebelum masehi. Tentu saja hal ini mendapatkan kesulitan yang luar biasa dikarenakan bahasa yang dipergunakan pada naskah-naskah tersebut sudah tidak lagi digunakan pada masa Erastothenes. Untuk tujuan tersebut dibutuhkan teknik-teknik atau cara-cara tertentu baik melalui penelusuran maupun peerbandingan naskah-naskah yang pada akhirnya disebut dengan metode filologi.

Paling tidak, ada beberapa faktor yang mendorong lahirnya disiplin filologi sebagaimana disebutkan Baroroh Baried dkk. (1994 : 2) sebagai berikut :

a. Munculnya informasi tentang masa lampau di dalam sejumlah naskah atau karya tulisan .

b. Anggapan adanya nilai-nilai yang terkandung dalam peninggalan tulisan masa lampau yang masih relevan dengan kehidupan masa kini.

c. Kondisi fisik dan substansi materi informasi akibat rentang waktu yang panjang.

d. Perubahan latar belakang budaya antara masa lalu dan masa sekarang

e. Keperluan pemerolehan pemahaman yang lebih tepat dan akurat.

Penelitian naskah kuno Nusantara pertama kali dilakukan justru oleh para penginjil karena kepentingan penerjemahan Bibel ke dalam bahasa Melayu. Untuk itu dengan sendirinya dibutuhkan pemahaman bahasa yang menjadi tujuan penerjemahan tersebut. Bisa dikatakan perkembangan selanjutnya memperlihatkan adanya keinginan untuk mengembangkan sayap penelitian naskah yang pada awalnya untuk kepentingan misionaris itu bergeser menuju penerbitan karya-karya lainnya dalam hal ini karya nusantara untuk tujuan pengenalan.

Berdasarkan proses yang disebut terakhir inilah, muncul karya-karya terbitan naskah pertama seperti Brata-Joeda oleh Cohen Stuart (1860), Ramayana Kakawin oleh Kern (1900) Nagarakrtagama oleh Brandes (1902), Brahmanda Purana oleh Gonda (1932), Het Bhomakawya oleh Teew (1946), Adat Atjeh oleh Drewes dan Voorhove (1958), Java in the 14th Century (Pigeud, 1960), Asraar al-Insan fi Ma’rifa Al-Ruh wal-Rahman (Tudjiman,1960), Hikayat Bandjar (Ras, 1968) dan lain sebagainya (Lihat Baroroh Baried dkk., 1994 :71-74).

Nampak bahwa perhatian terhadap naskah-naskah bermuatan Islam masih sangat sedikit apalagi mengingat cakupan area yang menjadi wadah sangat besar. Wadah yang dimaksud adalah berbagai bahasa daerah yang sangat akrab dengan muatan Islam seperti bahasa Bugis, Jawa, Sunda dan tentu saja Melayu bahkan bahasa Arab. Di samping itu dapat dikedepankan wadah genre penulisan naskah lama seperti hikayat, hikayat petualangan ajaib, babat , syair dan lain sebagainya.

Lebih jauh berkaitan dengan penelitian naskah kuna terdapat dua aliran yang penting untuk diketahui. Pengetahuan akan kedua aliran tersebut dapat membantu kita memahami berbagai karya filologis yang telah dihasilkan. Pertama, aliran yang yang menganggap bahwa kesalahan dan penyimpangan dalam penyalinan atau penurunan naskah satu kepada naskah lainnya sebagai sesuatu yang negatif. Kedua, aliran yang menganggap persoalan sebagaimana tersebut di item pertama sebagai sebuah kreativitas yang tidak bernilai negatif. Aliran yang pertama merupakan aliran tradisional sedangkan yang terakhir dapat disebut sebagai aliran modern.

Aliran tradisional merupakan aliran yang pertama kali muncul, yakni semenjak masa Eratosthenes yang lebih menekankan penelusuran asal mula teks. Bagi aliran tersebut yang terpenting adalah bagaimana mencari teks mula atau teks yang mendekati teks mula. Sedangkan aliran yang kedua lebih menekankan penyimpangan atau variasi sebagai sebuah kreativitas. Aliran yang kedua memberi arah baru dan sekaligus kegairah tersendiri khususnya bagi pengkaji naskah lama Nusantara yang salah satu karakteristiknya adalah situasi bahasa yang berbeda dengan yang pernah dialami oleh naskah manapun baik Iskandariyah, Romawi dan Latin kuno. Pada yang pertama bahasa yang disalin dari naskah satu kepada naskah beikutnya masih hidup atau dengan kata lain bahasa yang ada pada naskah yang disalin adalah tidak lain dari bahasa si penyalin. Sementara pada situasi yang kedua bahasa yang disalin sudah tidak dikenal lagi atau bisa dikatakan sebagai bahasa yang telah mati.

Karakter lain dari naskah nusantara yang sebenarnya merupakan konsekuensi dari karakter pertama tadi adalah keberadaan penyalin sebagai pengarang kedua sehingga muncul istilah co-author. Kenyataan seperti ini tentu membawa implikasi metodologis dalam mengkaji naskah-naskah lama. Umumnya, sebelum adanya pandangan modern para peneliti lebih menekankan pada pencarian asal mula teks sedangkan setelah munculnya pandangan modern terutama dipengaruhi pemikiran Kratz , para peneliti mulai menganggap variasi sebagai bentuk kreativitas sehingga penekanan lebih pada fungsi yang dimainkan sebuah teks dalam kaitannya dengan konteks masa penyalinannya (Chamamah, 1991 :12-13).

3. Keragaman kandungan naskah dan eksistensi naskah Arab Nusantara

Berdasarkan data yang tercatat, naskah tulisan tangan yang dimilkiki bangsa Indonesia tidak kurang dari 5000 naskah dengan 800 teks yang terdapat di seantero jagat (Baroroh Baried dkk., 1994 : 9). Adapun isi atau kandungan teksnya berkisar pada beberapa aspek kehidupan antara lain sejarah, hukum, adap istiadat, kehidupan sosial, obat-obatan, kehidupan beragama, filsafat, moral dan lain sebagainya.

Sebenarnya kalau kita ingin memperinci kandungan naskah tersebut kita dapat memasukkan aspek lainnya seperti bahasa (gramatika Arab), Tafsir, fikih dan sederet karya mistik Islam (tasawuf).

Beberapa judul naskah dapat memberikan gambaran kandungan tersebut antara lain sebagai berikut :

a. Hikayat Nabi Yusuf

b. Hikayat Nuh

c. Hikayat Muhammad Hanafiyyah

d. Hikayat Ibrahim bin Adzam

e. Bustanussalatin

f. Siratal Mustaqim, dan lain sebagainya

Beberapa judul yang disebut di atas dengan jelas memperlihatkan muatan nilai-nilai Islam yang pada saat itu memang sangat dominan. Meskipun demikian hal yang patut dicermati adalah banyaknya karya dalam bentuk atau memakai judul Hikayat menjukkan betapa dunia sastra pada masa itu digunakan secara efektif dan tepat sasaran sebagai bagian dari dakwah Islam.

Keragaman naskah nusantara dapat kita lihat pada katalog-katalog yang telah ada. Katalog merupakan alat bibliografis yang memberi akses pada naskah, namun katalog pun sudah berjumlah ratusan dan tidak diketahui umum (Chamber Loir :10). Oman Fathurrahman memiliki pengalaman bahwa data-data atau keterangan yang penting justru ia dapatkan bukan dari katalog-katalog namun lebih jauh melalui artikel-artikel lepas yang tersebar di berbagai tempat. Gambaran tersebut menandakan pentingnya peran ketekunan dan kesabaran yang luar biasa dari seorang peneliti naskah atau filolog.

Seorang filolog biasanya mengambil sebuah spesifikasi naskah berbahasa tertentu, misalnya Jawa, Sunda, Melayu, Bugis dan Arab. Penting ditekankan di sini bahwa naskah berbahasa Arab sebagaimana tercantum dalam katalog PNRI berjumlah 764 naskah atau bahkan disinyalir 1000 buah naskah. Jumlah naskah Arab yang cukup besar juga terdapat di Dayah Tanoh Abee, Seulimeum, Aceh, berjumlah tidak kurang dari 3.500 teks keagamaan. Dalam konteks keagamaan (baca: Islam), naskah-naskah di Tanoh Abee ini layak mendapat perhatian khusus, selain karena semuanya bersifat agama, ia juga semakin penting karena mencerminkan dasar pendidikan agama di daerah Aceh pada abad 19.

Di luar negeri, naskah-naskah Arab terdapat antara lain di Universiteits Bibliotheek, Leiden, Belanda, yaitu sekitar 5000 buah naskah Arab (lihat Voorhoeve 1957 & 1980). Selain itu, —meskipun bercampur dengan bahasa Melayu— terdapat sekitar 700-an naskah Arab di Muzium Islam Kuala Lumpur, Malaysia.

Tabel berikut dapat meresume persebaran keberadaan naskah beraksara dan sekaligus berbahasa Arab (data tambahan berasal dari Henry Cambert-Loir, 1999 : 39-42)..

NO

Tempat Koleksi Naskah Berbahasa Arab

Jumlah naskah

1

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Jakarta

+ 1000

2

Dayah Tanoh Abee, Seulimeum, Aceh

+ 3.500

3

UniversiteitsBibliotheek, Leiden, Belanda

+ 5.000

4

Muzium Islam Kuala Lumpur, Malaysia

+ 700-an

5

South Africa Cultural Museum

6

6

American Philosophy Society

1

Penting dicatat bahwa jumlah tersebut belum termasuk naskah-naskah milik pribadi yang banyak tersebar di kalangan masyarakat, yang sayangnya sering tidak dapat diakses karena dianggap suci (baca: keramat). Itu pun baru naskah berbahasa Arab, belum lagi naskah-naskah dalam bahasa daerah Nusantara lainnya, seperti Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Bali, Batak, Bugis-Makassar, dll. yang tidak jarang juga memuat teks-teks keagamaan pula (Oman : www.naskahkuno.blogspot.com)

Di Jawa Barat misalnya, produksi naskah-naskah keagamaannya berkembang dengan sangat signifikan. Apalagi di wilayah ini pula, tepatnya di daerah Pamijahan Tasikmalaya, berkembang sebuah tradisi tarekat, yakni tarekat Syattariyyah, dengan Shaikh Abdul Muhyi Pamijahan sebagai “suhu”nya, yang tentu saja telah menghasilkan banyak teks keagamaan, baik yang berbahasa Arab, Sunda maupun Jawa. Penelitian yang telah dilakukan oleh Tommy Christomy menunjukkan, betapa naskah-naskah keagamaan yang ada mampu memberikan gambaran atas dinamika dan perkembangan tarekat Syatariyyah khususnya, dan Islam lokal di wilayah ini pada umumnya. Ada hal lain yang juga penting dicermati. Khusus untuk penelitian naskah-naskah Arab, di UI sendiri pun —yang telah akrab dengan kajian pernaskahan sejak akhir paruh pertama abad 20— hingga terakhir diperiksa, hanya tercatat tidak lebih dari 25 penelitian dalam bentuk skripsi, 2 tesis, yaitu Fauzan Muslim (1996), Kunhu Ma La Budda Minhu karya Ibnu Arabi, dan Fathurahman (1998), Tanbih Al-Masyi Al-Mansub Ila Tariq Al-Qusyasyi, karya Abdurrauf Singkel. Sedangkan untuk disertasi, hanya satu buah, yaitu Purwadaksi (1992), dengan karyanya, Ratib Samman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman (Oman : www.naskahkuno.blogspot.com).

4. Urgensi Filologi pada penggalian khasanah pengetahuan Islam

Dalam tulisannya Naskah dan Penelitian Keagamaan (dalam Nabilah), Oman Fathurahman memperlihatkan betapa naskah-naskah Nusantara terutama naskah Melayu memeliki nuansa keislaman yang sangat kental. Nuansa tersebut terdapat pada naskah-naskah yang memuat tema-tema seperti fiqih, tafsir, tauhid dan tasawuf (dalam Nabilah Lubis, 2001 : 2).

Indikasi yang cukup kuat ini didukung dengan adanya informasi-informasi yang kita temukan dalam katalog-katalog naskah. Katalog PNRI (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia) misalnya mendaftarkan sekitar + 764 naskah berbahasa Arab ini belum memperhitungkan varian naskah karena hanya melihat data A 764 sebagai akhir dari halaman daftar tersebut (Behrend, 1998 :21). Koleksi naskah Melayu PNRI juga tergolomg besar yakni sejuimlah + 542 naskah.

Kita tentu yakin bahwa khasanah Islam tidak hanya ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu saja melainkan juga dalam bahasa-bahasa Nusantara lainnya seperti bahasa Jawa, Sunda, Bugis dan lain sebagainya. Hal ini di satu sisi menandakan betapa intensnya penyebaran Islam di kawasan Nusantara dan di sisi yang lain mengindikasikan betapa luas dan kayanya materi naskah kita.

Beberapa karangan ilmiah seperti tesis dan disertasi telah banyak mengungkap kekayaan nilai-nilai Islami. Satu contoh disertasi yang cukup menarik menurut saya, adalah karya Fadlil Munawar Manshur berjudul Kasidah Burdah Al-Bushiry dan Polpularitasnya dalam berbagai Tradisi; Suntingan Teks, Terjemahan, dan Telaah Resepsi. Disertasi yang dipertahankan Fadlil pada awal 2007 ini menggambarkan betapa karya sastra yang asalnya dari Arab mendapat bentuk atau sambutan yang beragam dari berbagai tradisi dunia di lima benua dan khususnya di Indonesia dalam tradisi Jawa, Sunda dan Melayu/Indonesia (Fadlil, 2007 : 4, 44 dan 45). Salah satu butir kegunaan penelitiannya adalah untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama, khususnya tasawuf, yang tertuang dalam naskah-naskah keagamaan yang bercorak tasawuf (lihat butir iv, Fadlil, 2007 : 8).

Sinyalemen yang mengarah pada berlimpahnya tulisan-tulisan yang bercorak keagamaan ini dikuatkan dengan adanya kenyataan luasnya pengaruh Islam di Nusantara. Implikasinya tentu kita dapat membayangkan adanya kegiatan-kegiatan yang intens pada masa lalu dalam hal penyebaran paham-paham keagamaan.

Belum lagi adanya polemik di sekitar para ahli keagamaan yang memicu pertikaian paham dan pada gilirannya penggunaan motif kekerasan (pemaksaan) dalam melegitimasi hegemoni paham seseorang terhadap yang lain. Masih segar dalam ingatan kita polemic antara Hamzah Fansuri dan Nuruddin Arraniri yang berakhir dengan pembakaran karya-karya tokoh yang pertama oleh pengikut Arraniri.

Dalam hal naskah-naskah keagamaan, sebagaimana dinyatakan Oman, tampak bahwa jumlah naskahnya kelihatan lebih menonjol, terutama karena terkait dengan proses islamisasi di Indonesia yang banyak melibatkan para ulama produktif di zamannya. Data-data yang dijumpai umumnya memberi penjelasan bahwa naskah-naskah keagamaan tersebut ditulis oleh para ulama terutama dalam konteks transmisi keilmuan Islam, baik transmisi yang terjadi antara ulama Melayu-Nusantara, di mana Indonesia termasuk di dalamnya, dengan para ulama Timur Tengah, maupun antarulama Indonesia itu dengan murid-muridnya di berbagai wilayah.

Dua pola transmisi keilmuan yang terjadi di wilayah Indonesia tersebut pada gilirannya membentuk pula dua kelompok bahasa naskah: pertama naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa Arab; dan yang kedua naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah. Dalam perkembangannya, jumlah naskah tersebut kemudian semakin membengkak dengan adanya tradisi penyalinan naskah dari waktu ke waktu, baik yang dilakukan oleh murid-murid untuk kepentingan belajar, maupun yang dilakukan oleh “tukang-tukang salin” untuk kepentingan komersil (Oman : www.naskahkuno.blogspot.com). Singkatnya, pola transmisi berlangsung dengan dua orientasi, didaktis di satu sisi dan komersial di sisi lainnya.

Berkenaan dengan mendesaknya penggalakan kajian filologis ini dapat dikaitkan terutama mengingat kondisi naskah sendiri yang berbahan dasar kertas dari beberapa abad yang lalu. Bisa dibayangkan betapa lapuknya bahan tersebut padahal upaya menggali kandungannya belum banyak dilakukan. Di samping itu masih banyak naskah yang berada di tangan perorangan yang biasanya memperoleh naskah tersebut secara turun temurun. Mereka biasanya menggunakan cara tradisional dalam melakukan pelestarian. Hal ini cukup riskan mengingat tidak ada jaminan batas waktu kapan upaya pelestarian dapat bertahan apalagi bila kita kaitkan dengan bencana Tsunami di Aceh 26 Desember 2004 lalu yang melenyapkan sejumlah besar naskah kita.

Upaya penyerahan naskah-naskah individual dapat menjadi solusi yang bijak sebagaimana telah dilakukan Abdurrahman Wahid pada 1993 yang lalu ketika menyerahkan sejumlah naskah yang dimiliki keluarganya. Naskah tersebut terdiri dari 67 naskah berasal darialam pesantren Jawa Timuran sekitar abad ke-18 sampai ke-20, ditulis dengan aksara Arabdi atas kertas gendhong atau tela, berbahasa Arab dan biasanya diselingi catatan antar alinea dalam bahasa Jawa Pegon (T.E. Behrend, 1998 : xvi).

Paling tidak di tangan pemerintah melalui PNRI, naskah-naskah tersebut mendapat perawatan yang lebih baik di samping kemampuan pemerintah melalui sumber dananya mengupayakan pemikrofilman naskah-naskah tersebut.

5. Peluang PTAI

Bagi PTAI (baca : Perguruan Tinggi Agama Islam baik Negeri maupun swasta) fakta-fakta yang telah saya uraikan di atas tentu menjadi semacam peluang dan sekaligus tantangan. Bahkan tidak berlebihan kalau saya perkirakan celah ini sebagai alternatif pengembangan keahlian mahasiswa PTAI yang nota bene memiliki kapasitas yang cukup baik dari sisi penguasaan Bahasa Arab dan pengetahuan Islam yang lebih luas ketimbang mahasiswa dari PTU (baca : Perguruan Tinggi Umum).

Mata Kuliah bahasa Arab di PTAI paling tidak diberikan selama dua semester dan bagi mahasiswa Fakultas Adab terkadang mencapai tiga semester. Bekal tersebut menurut saya sangat cukup terlebih jika input mahasiswa PTAI sudah memiliki dasar bahasa Arab dan pengetahuan Islam di tingkat sekolah Menengah baik Madrasah Aliyah maupun Pondok Pesantren.

Penting disebut pada kesempatan ini bahwa program studi atau konsentrasi filologi di Perguruan Tinggi Umum biasanya terdapat pada Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya hal mana baru bisa diterapkan di PTAI setingkat UIN dan IAIN yang juga memiliki Fakultas Adab (sastra). Pada dua lembaga terakhir mata kuliah filologi biasanya diberikan pada mahasiswa semester VI dengan bobot 3 SKS. Bobot 3 SKS ini jelas sangat jauh dari cukup mengingat luasnya materi dan bahan yang seharusnya dapat dikuasi mahasiswa.

Idealnya matakuliah filologi diberikan minimal dua semester dengan perincian satu semester digunakan sebagai penghantar teori sementara semester berikutnya lebih ditekankan filologi sebagaimana dalam praktek penelitian baik berupa penganalisaan tesis atau disertasi yang menggunakan naskah sebagai obyeknya.

Senada dengan uraian di atas, Oman Fathurahman secara eksplisit menyebut dua keunggulan PTAI yang tidak dimiliki kalangan akademisi lainnya sebagaimana uraiannya berikut ini:

…Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan perguruan tinggi Islam lainnya, tampaknya harus mengambil porsi yang lebih besar (pen. : dalam kajian filologi), karena setidaknya dua alasan : Pertama, UIN/IAIN memiliki SDM yang kuat dalam bidang keislaman, termasuk di dalamnya penguasaan atas bahasa yang banyak digunakan dalam naskah, yakni bahasa Arab. Apalagi —seperti telah dikemukakan— berbagai naskah Melayu pun umumnya ditulis dengan aksara Arab (tulisan Jawi), sehingga penguasaan atas aksara dan bahasa tersebut menjadi sangat signifikan. Sejauh ini, minimnya penguasaan para filolog —yang umumnya berlatar belakang pendidikan umum— terhadap bahasa Arab seringkali menjadi faktor penghambat dilakukannya penelitian atas naskah-naskah keagamaan tersebut, sehingga tidak mengherankan jika naskah-naskah tersebut, khususnya yang berbahasa Arab, sejauh ini lebih banyak “ditelantarkan”. Kedua, secara keilmuan, civitas akademika UIN/IAIN sangat berkepentingan dengan data-data yang terekam dalam naskah-naskah keagamaan tersebut. Sehingga, memelihara dan memanfaatkannya sebagai rujukan keilmuan, pada gilirannya akan memperkuat basis IAIN sendiri sebagai sebuah institusi pendidikan yang concern dengan bidang-bidang ilmu keislaman. Selain itu, kemudahan akses terhadap naskah-naskah tersebut juga diharapkan dapat membantu komunitas UIN/IAIN untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas tentang Islam (broader understanding of Islam), khususnya yang berkembang di wilayah Melayu-Indonesia ( Oman : www.naskahkuno.blogspot.com).

Pernyataan tersebut tentu semakin memperkuat keyakinan bahwa penelitian naskah lama terutama naskah berbahasa Arab dan naskah lain yang memuat aspek keislaman dapat menjadi area yang sangat menarik bagi akademisi maupun calon akademisi di lingkungan PTAI.

Dengan munculnya karya-karya ilmiah yang membahas khasanah Islam melalui naskah lama semakin membuka jalan kajian filologi berkembang di Indonesia. Khusus di PTAI, nama-nama seperti Azyumardi Azra, Nabilah Lubis, dan Oman Fathurrahman dapat dipandang sebagai pelopor kajian semacam ini. Azra dengan karyanya Jaringan Ulama Timur Tingah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,. Nabilah melalui disertasinya Zubdat Al-Asrar fi Tahqiq Ba’d Masyarib Al-Akhyar Karya Syekh Yusuf Al-Makasari; yang kemudian terbit dalam buku Syekh Yusuf Al-Makasari; Menyingkap Intisari Segala Rahasia dan Oman Fathurrahman dengan bukunya Tanbîh al-Mâsyî. Menyoal Wahdatul Wujud; Kasus Abdurrauf Singkel. Karya-karya lainnya masih menunggu uluran perhatian kita semua.

6. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di muka kiranya kita dapat memahami atau paling tidak mengenal adanya sebuah disiplin keilmuan yang mungkin saya ibaratkan sebagai sesuatu yang seakan-akan jauh di mata namun dekat di hati, yakni disiplin Filologi. Saya sebut demikian guna mengetuk hati para pembaca untuk sekali lagi merenungkan betapa kajian semisal ini sangat mungkin dan tentu saja amat penting bagi kita semua namun keberadaannya masih sayup-sayup terdengar meski sebenarnya bahan mentahnya banyak bersliweran di sekitar kita.

Paling tidak ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan sebagai kata akhir namun saya harap berimplikasi menjadi pemakadam jalan bagi aktivitas kita selanjutnya

a. Bidang kajian filologi sangat penting bagi kontinuitas kesejarahan dan pengembangan modal sosial bangsa Indonesia secara umum dan umat Islam secara khusus

b. Masih banyak terdapat naskah-naskah kuna warisan leluhur yang belum mendapat perhatian dan sekaligus merindukan sentuhan para pecintanya

c. Di antara sekian banyak khasanah yang tersimpan terdapat sekian ribu_bahkan menurut Nurcholis Madjid_jutaan naskah yang mengandung muatan keagamaan (Islam)

d. Kenyataan ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi para akademisi ataupun mahasiswa PTAI yang tentunya memeliki kapabilitas yang lebih baik dibanding mereka yang berlatar belakang dari PTU.

e. Dibutuhkan kerja besar dan terencana dari para pembuat kebijakan di tingkat Nasional maupun institusi karena kegiatan ini membutuhkan komitmen bersama.

Akhirnya saya mengajak para pembaca untuk lebih memperhatikan warisan leluhur bangsa ini tidak hanya dengan merawat dan menyimpannya sebagai barang azimat, tetapi lebih dari itu mengembangkannya menjadi sesuatu yang lebih berguna dan bermanfaat untuk generasi yang akan datang. Semoga ada manfaatnya.

Daftar Pustaka

Fadlil Munawar Manshur, Kasidah Burdah Al-Bushiry dan Polpularitasnya dalam berbagai Tradisi; Suntingan Teks, Terjemahan, dan Telaah Resepsi, Disertasi Program Doktoral UGM, Jogjakarta, 2007

Henry Chambert –Loir dan Oman Fathurrahman, Khazanah Naskah; Panduan Naskah-naskah Indonesia Sedunia, Ecole Francaise d’Extreme-Orient dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999

Oman Fathurrahman, Naskah dan Penelitian Keagamaan, (dalam Nabilah Lubis, Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi, Yayasan Media Alo Indonesia, Jakarta, 2001

-------------------------, Khazanah Naskah-naskah Islam Nusantara, www.naskahkuno.blogspot.com

-------------------------, Filologi dan Penelitian Teks-teks Keagamaan, www.naskahkuno.blogspot.com

Siti Baroroh Baried dkk., Pengantar Teori Filologi, BPPF, Fak. Sastra UGM, Yogyakarta, 1994

Siti Chamamah Soeratno, Hikayat Iskandar Zulkarnain; Analisis Resepsi, Balai Pustaka, Jakarta, 1991

T.E. Behrend (Ed.), Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4, Yayasan Obor Indonesia-Ecole Francaise D’Extreme Orient, Jakarta, 1998

Metode Penentuan Teks Dasar Suntingan

Metode Penentuan Naskah Dasar Suntingan

dan Metode Penyuntingan Naskah

Oleh : Fuad Munajat

Pertama kali saya akan menjelaskan terlebih dahulu kedua istilah yang menjadi bagian dari judul yang digunakan. Kedua istilah yang saya maksud adalah “metode penentuan naskah dasar suntingan” dan “metode penyuntingan naskah”. Saya menggunakan istilah yang pertama untuk merujuk kepada metode yang digunakan dalam menetapkan sebuah atau sekelompok naskah yang menjadi dasar suntingan. Jadi bisa dikatakan metode yang pertama saya sebut tersebut merupakan metode pra-penyuntingan. Sementara metode terakhir merupakan metode yang digunakan pada saat tengah menyunting sebuah atau sekelompok naskah baik menjadi edisi kritis atau menjadi edisi diplomatis. Saya cenderung menyebutnya sebagai metode penyuntingan naskah saja.

Saya akan mencoba memaparkan beberapa informasi pada dua buku pegangan yang dijadikan perdoman pembahasan topik ini. Dua buku yang saya maksud adalah pertama buku berjudul Prinsip-prinsip Filologi Indonesia oleh S. O. Robson, dan kedua buku dengan judul Pengantar Teori Filologi yang disusun Siti Baroroh Baried dkk.. Keduanya memuat informasi mengenai metode yang digunakan dalam kajian filologis.

Robson dalam bukunya Prinsip-prinsip Filologi Indonesia menjelaskan metode penyuntingan dalam dua bab, bab IV; Metode Penyuntingan : Stemma, dan bab V; Metode penyuntingan : Diplomatis atau Kritis? Dalam bukunya tersebut nampak sekali Robson menggunakan istilah stemma secara eksplisit sebagai metode penyuntingan. Metode stemma sebagaimana dipaparkan Baried dkk., adalah metode obyektif yang sampai kepada silsilah naskah (Baried dkk., 1994 :67). Metode diplomatis serta Kritis bagi Robson menempati status sebagai mana posisi stemma. Dengan begitu bagi Robson stemma memiliki makna yang sangat luas tidak hanya metode penentuan naskah dasar tetapi juga memuat metode penyuntingan dalam pengertian rekonstruksi naskah.

Sementara dalam bab V, tentang metode diplomatis ataukah kritis, Robson, mengutip pendapat De Haan, menuliskan “Jika seseorang ingin memberikan contoh kepada pembacanya mengenai cara sebuah teks untuk dideklamasikan, diungkapkan dalam naskah yang dimaksudkan untuk itu, maka bentuk publikasi yang sesuai adalah jiplakan dan edisi diplomatic. Akan tetapi, jika seseorang ingin menerbitkan teks itu seperti fungsinya pada abad ke- 14 (abad-abad sebelumnya), maka ia harus memberikan kepada pembaca edisi kritis” (Robson, 1994 : 22).

Pada bab IV mengenai teori filologi dan penerapannya, khususnya pada sub-bab point B mengenai kritik teks, Baroroh Baried dkk. menyebutkan beberapa hal yang terkait dengan metode penelitian naskah. Di antaranya adalah item nomor 2 mengenai transliterasi yang diartikan sebagai penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari abjad satu ke abjad yang lain. Dijelaskan pula pada bagian tersebut bahwa transliterasi berguna untuk memperkenalkan teks-teks lama yang tertulis dengan huruf daerah karena ketidakakraban pembaca masa kini dengan aksara-aksara tersebut. Selanjutnya pada item nomor 3 dijelaskan tentang perbandingan teks dengan langkah-langkah sebagai berikut :

  1. Resensi, yakni membaca dan melakukan penilaian terhadap semua naskah yang ada.
  2. Eliminasi, yakni melakukan penyisihan teks kopi yang tidak relevan dengan tujuan penelitian.
  3. Eksaminasi, yakni pemeriksaan keaslian teks apakah terdapat hal-hal seperti korup, lacuna, maupun interpolasi. Perunutan keaslian teks dapat menggunakan pemeriksaan kecocokan metrum dalam teks puisi, kesesuaian dengan teks cerita, gaya bahasa, latar budaya, atau sejarah.

Sementara itu pada sub-bab C tentang metode penelitian, dijelaskan beberapa item yang berkaitan, namun saya menduga item-item ini bukanlah merupakan langkah-langkah penelitian yang disusun secara urut dikarenakan pada point ketiga dicantumkan nomenklatur ‘susunan tema’ padahal poin-poin sebelumnya menggunakan nomenklasi yang ‘agak tepat’ untuk disebut sebagai langkah penelitian. Secara utuh saya sampaikan poin-poin (Baried dkk., 1994 :65-70) tersebut di bawah ini :

  1. Pencatatan dan pengumpulan naskah
  2. Metode kritik teks, yang masih dibagi lagi ke dalam beberapa metode yakni metode intuitif, obyektif, gabungan, landasan, dan metode edisi naskah tunggal yang masih memiliki klasifikasi selanjutnya yaitu edisi standard an edisi kritik.
  3. Susunan stemma
  4. Rekonstruksi teks.

Perlu diperikan lebih lanjut mengenai metode kritik teks yang disebut di atas yang masih dibagi lagi ke dalam beberapa metode.

Pertama, intuitif yang seringkali disamakan dengan metode subyektif yakni dengan cara mengambil naskah yang dianggap paling tua. Di tempat-tempat yang dianggap tidak betul atau tidak jelas, naskah itu diperbaiki dengan memakai akal sehat,selera baik, dan pengetahuan luas.

Kedua, metode obyektif yakni penelitian sistematis mengenai perkerabatan naskah-naskah. Apabila dari sejumlah naskah ada beberapa naskah yang memiliki kesalahan yang sama pada tempat yang sama pula, maka dianggap berasal dari satu sumber (yang hilang). Sehingga terbentuk silsilah naskah. Sesudah itu baru dilakukan kritik teks. Metode obyektif yang sampai kepada silsilah naskah disebut metode stemma.

Ketiga, metode gabungan yakni apabila nilai naskah menurut penelitinya hamper sama. Umumnya dipilih bacaan mayoritas atas dasar perkiraan naskah lain sebagai saksi bacaan yang betul. Teks hasil suntingan merupakan teks baru yang merupakan gabungan bacaan dari semua naskah yang ada.

Keempat, metode landasan yakni peneliti memilih satu atau segolongan naskah yang unggul kualitasnya. Kemudian naskah tersebut dijadikan landasanatau induk teks.

Kelima, metode edisi naskah tunggal, yakni dengan dua cara edisi diplomatic dan edisi standar atau edisi kritik sebagaimana telah dibicarakan pada pembahasan Robson di atas (Baried dkk., 1994 : 66-68).

Saya beralih kembali kepada pembicaraan awal yakni mengenai metode penentuan naskah dasar dan metode penyuntingan yang memiliki karakter yang sangat berbeda dikarenakan tujuan yang akan dicapai juga berbeda sebagaimana penyebutan nomenklatur masing-masing metode. Namun demikian menjadi hal yang agak rumit ketika tidak ada satu referensipun yang secara eksplisit menyebutkan keduanya sebagai dua metode yang terpisah. Demikian halnya ketika saya melihat beberapa tesis dan disertasi yang membicarakan tentang metode penelitian naskah yang digunakan para penulisnya, mereka cenderung menjabarkan secara global dan terkesan menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang sudah mafhum dan tidak memerlukan penjelasan lebih jauh.

Berikut ini saya akan mengutip beberapa penjelasan yang saya temukan pada bab pendahuluan beberapa tesis dan disertasi dalam menjelaskan metode penelitiannya. Marsono mendeskripsikan metodenya dengan cara demikian :

Akhirnya, dengan melihat asal-usul naskah yang berasal dari tiga tradisi yang berbeda, perbandingan struktur puisi tembang melalui jumlah pupuh-pupuhnya, dan perbandingan inti ceritanya, naskah A, B, C, serta D dapat dikelompokkkan menjadi tiga. Isi teksnyapun juga dapat dibagi menjadi tiga versi. Kelompok yang pertama naskah A dan B. Kedua naskah C, dan ketiga naskah D. Naskah A kualitas bacaannya lebih baik daripada B, C, dan D. (Marsono, 1996 : 97).

Lain halnya dengan Sangidu pada Disertasinya Wachdatul Wujud dalam Maaul Chayaat Li Ahlil Mamaat menjelaskan sebagai berikut :

Maaul Chayaat sebagai salah satu karya sastra Melayu dapat dibaca melalui empat buah naskah salinannya, yaitu naskah A, B, C, dan D. dalam menghadapi keempat naskah tersebut maka yang pertama dilakukan adalah membandingkan keempat naskah dan menetapkan satu naskah unggul sebagai teks suntingan. Perbandingan terhadap keempat naskah tersebut memerlukan metode filologi yang sesuai dengan kondisi naskah dan terkenal dengan metode landasan atau induk (Legger).

Perbandingan empat buah naskah tersebut dilakukan dalam kaitan nya dengan kegiatan memilih naskah yang unggul. Setelah keempat naskah tersebut dibandingkan dari aspek bahasa, sastra, sejarah, dan lainnya, maka selanjutnya dimanfaatkan metode landasan (Sangidu, 2002 : 18-19).

Sudibyo dalam bagian pendahuluan tesisnya juga memberikan penjelasan mengenai metodenya sebagai berikut :

… Sehubungan dengan itu, agar teks HPJ (Pen. Hikayat Pandawa Jaya) dapat dibaca oleh masyarakat masa kini, teks itu terlebih dahulu perlu ditransliterasikan ke dalam aksara Latin. Pentransliterasiannya dilakukan dengan mengikuti prinsip metode penyuntingan kritis.

Sebagaimana disebutkan di muka, “kritik” berarti penyunting mengidentifikasi sendiri bagian-bagian dalam teks yang mungkin bermasalah serta menawarkan jalan keluar. Untuk itu, suntingan diterbitkan dengan membetulkan kesalahan-kesalahan, keajegan-keajegan yang terdapat dalam naskah, menerapkan pungtuasi, serta menetapkan standarisasi ejaan sesuai dengan system ejaan yang berlaku. Catatan-catatan yang timbul karena keinginan untuk menghilangkan hambatan-hambatan untuk pemahaman teks ditetapkan dalam aparat kritik (Sudibyo, 2001 : 26-27).

Saya melihat apa yang dipaparkan Marsono pada kutipan di atas merupakan pemaparan metode pra-penyuntingannya dengan proses-proses perbandingannya baik struktur maupun isi puisi. Kemudian ketika dia berhasil menentukan hubungan antra naskah-naskah yang diteliti dan menilai kualitas naskah A sebagai naskah terunggul berarti metode stemma tampak telah sukses digunakannya. Dalam hal ini sebenernya kutipan tersebut belum masuk pada proses penyuntingan dalam pengertian rekonstruksi naskah. Sementara itu dalam kutipan tesis Sangidu terdapat penjelasan adanya dua metode terangkum di sana. Lebih jauh Sudibyo menjelaskan secara eksplisit proses transliterasi dan upaya pembetulan teks dari kesalahan-kesalahan.

Penjelasan metode yang lebih sistematis saya temukan dalam disertasi Emuch Hermansoemantri (1979) yang memaparkan langkah penerapan metodenya sebagai berikut :

  1. Pengumpulan bahan, melalui studi perpustakaan dan studi lapangan. Studi perpustakaannya pun masih diperinci lagi dengan langkah-langkah yang secara eksplisit disebutkan mulai dari inventarisasi naskah, penilikan naskah sampai dengan pengumpulan naskah.
  2. Pentrankripsian naskah-naskah (terutama naskah primer)
  3. Penilaian (kritik teks), diperikan lagi menjadi a) pengamatan yang cermat terhadap naskah yang telah ditranskripsikan, b) Pembandingan antar naskah (kolasi), c) Pertimbangan naskah, terutama menimbang kualitas varian, kuantitas dan jenis korup, d) Penyimpulan dalam diagram silsilah

Penyusunan/ penetapan kembali naskah

Kesimpulan

Berdasarkan uraian sederhana di atas, saya mencoba mencari benang merah yang merupakan kesimpulan sementara.

1. Metode penentuan naskah dasar atau saya sebut metode pra-penyuntingan paling tidak mencakup proses-proses inventarisasi naskah-naskah, komparasi, penilaian atau dengan nomenklatur lain resensi, eliminasi dan eksaminasi.

2. Metode penyuntingan naskah yang merupakan tahap rekonstruksi naskah bisa dilaksanakan dengan mempertimbangkan sifat-sifat yang dimiliki masing-masing naskah yang dijadikan obyek. Jika naskahnya tunggal kemungkinan metode yang dapat diterapkan adalah edisi diplomatic dan edisi kritik. Namun jika naskah yang dihadapi lebih dari satu bahkan dalam banyak kesempatan berjumlah sangat banyak maka dapat dipergunakan metode-metode seperti landasan (legger), metode gabungan, dan metode obyektif.

3. Metode obyektif yang sampai kepada silsilah dan disebut juga metode stemma belakangan menuai banyak kritik khususnya dalam berhadapan dengan naskah-naskah nusantara yang berkarakter unik yakni penyalin sebagai pencipta kedua karena masih memahami bahasa naskah yag disalinnya sehingga selera penyalin tak dapat dihindari.

4. metode stemma merupakan trademark pendekatan histories yang memang booming pada abad ke-19. Sementara pendekatan yang berorientasi kepada pembaca dalam hal ini berkaitan dengan pendapat penyalin sebagai pembaca dan pencipta kedua mendapat perhatian lebih pada abad ke – 20.

Demikianlah uraian singkat yang dapat saya ketengahkan. Semoga ada manfaatnya.

Daftar Pustaka

  1. Siti Baroroh Baried dkk., Pengantar Teori Filologi, Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1994
  2. S. O. Robson, Prinsip-prinsip Filologi Indonesia, RUL, Jakarta, 1994
  3. Emuch Hermansoemantri, Sejarah Sukapura; Sebuah Telaah Filologis, Disertasi, Jakarta, 1979
  4. Marsono, Loka Jaya; Suntingan Teks, Terjemahan,Struktur Teks, Analisis Intertekstual dan Semiotik, Disertasi, Yogyakarta, 1996
  5. Sangidu, Wachdatul Wujuud dalam Maaul Chayaat Li Ahlil Mamaat, Disertasi, Yogyakarta, 2002
  6. Sudibyo, Hikayat Pandawa Jaya, Tesis, 2001

Mazhab Humanisme Baru dalam Kritik Sastra Kontemporer

MAZHAB HUMANISME BARU

Dalam Kritik Sastra Kontemporer

Fuad Munajat

Pendahuluan

Secara umum saya mengakui materi pokok yang dibicarakan tulisan berikut belum memiliki landasan yang cukup kuat. Hal ini dikarenakan mazhab neohumanisme (humanisme baru), yang menurut Dr. Ahmad Rahmani ini muncul pada abad sebelum ini, belum banyak dibahas dalam buku-buku kritik sastra kontemporer. Walaupun penulis buku Nadzariyya:t Naqdiyya Wa Tathbi:qa:tuha: tersebut mengutip adikarya Rene Wellek sebagai referensinya namun kutipannya bukan mengenai mazhab baru ini ( Lih. Misalnya Rahmani, 2004 : 82). Pun demikian dalam Encyclopedia Americana, saya tidak menemukan lema yang secara spesifik menyebut mazhab ini.

Sulit kiranya membicara mazhab humanisme baru tanpa mengaitkannya dengan pembahasan mengenai humanisme. Hal ini dikarenakan munculnya humanisme baru merupakan kelanjutan dari mazhab humanisme yang meliputi kontradiksi-kontradiksi yang salah satu kutubnya mengedepankan spiritualisme keagamaan sebagai landasan paradigmanya.

Dengan demikian pada kesempatan awal saya akan mengetengahkan terlebih dahulu mazhab humanisme dengan berbagai aliran yang turun darinya.

Mazhab humanisme sebagai induk humanisme baru

Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat-nya menyatakan nomenklatur Humanisme memiliki arti antara lain :

1. Menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi.

2. Menganggap individu sebagai sumber nilai terakhir.

3. Mengabdi pada pemupukan perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional dan berarti tanpa acuan pada konsep-konsep tentang yang adikodrati.

Pemakaian istilah humanisme dalam sejarah filsafat memiliki akar pada Protagoras ketika ia mengangkat manusia sebagai ukuran (Lorens Bagus, 2000 : 295). Sedangkan dalam masa renaisans istilah tersebut merujuk pada gerak balik kepada sumber-sumber Yunani, dan kritik individual serta interpretasi individual kontras dengan tradisi skolastisisme dan otoritas religius. Maju lagi ke abad berikutnya, istilah tersebut sering dipakai dalam kontras dengan teisme, yang menempatkan dalam manusia sumber kebaikan dan kreatifitas. Sementara itu Shiller dan W. James menggunakan istilah itu dengan menganggapnya sebagai pandangan yang bertolak belakang dengan absolutisme filosofis. Penekanan kedua tokoh ini terdapat pada alam dan dunia yang terbuka, pluralisme, dan kebebasan manusia (Lorens Bagus, 2000 : 296).

Ali Syariati mendefinisikan humanisme sebagai aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia. Faham ini memandang manusia sebagai makhluk mulia, dan prinsip-prinsip yang disarankannya didasarkan atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok yang bisa membentuk spesies manusia. Dewasa ini terdapat empat aliran pemikiran penting yang kendati pun memiliki perbedaan-perbedaan pokok dan pertentangan-pertentangan satu sama lain, keempat-empatnya mengklaim diri sebagai pemilik humanisme, yaitu : Liberalisme Barat, Marxisme, Eksistensialisme dan Agama (Syariati, 1410 H : 39).

Nampak dari dua definisi di atas bahwa baik Lorens Bagus maupun Syariati sepakat mengenai adanya fenomena perkembangan humanisme yang bergerak menuju pertentangan-pertentangan di mana aliran-aliran filsafat Barat di satu sisi berada pada ruang yang terletak diametral dengan agama. Sulit menerka mana di antara keempat aliran tersebut, sebagaimana disebut Syriati, yang paling humanis. Bahkan Perwira Alengka (nama samaran seorang dosen Filsafat Universitas Parahyangan Bandung) menyebutkan bahwa kelompok Katolikpun mengklaim diri sebagai pihak yang paling humanis (http//www.Indo-News.com). Tentu kita telah memahami adanya pertentangan antara kelompok ini dengan rivalnya yang protestan.

Lebih jauh Alengka memaparkan bahwa istilah humanisme secara historis merupakan sebutan bagi gerakan kultural abad ke -17 an di Eropa. Namun dalam perkembangannya semangat yang hendak menegakkan kemanusiaan ideal sesuai martabat manusia yang unik itu ternyata berkembang biak dalam aneka bentuk yang demikian beragam, bahkan saling bertentangan. Sebut saja eksistensialisme, pragmatisme, Marxisme, humanisme Inggris, dan sebagainya (http//www.Indo-News.com).

Dengan demikian istilah ini kini memiliki berbagai konotasi dan tidak lagi bisa dilihat semata-mata sebagai aliran-aliran filsafat barat tertentu. Sebagai ideologi ataupun sebagai produk formasi diskursif tertentu. Kalaupun sebagai semangat dasar ia seperti masih hidup terus hingga kini, sehingga lebh baik humanisme itu dipahami sebagai pencarian reflektif tentang apa artinya ‘menjadi manusia” dan hidup sebagai manusia yang sesuai dengan martabatnya pada tingkat terdalam.

Humanisme sebagai mazhab pemikiran juga digunakan dalam ranah kritik sastra. Penekanan kritik sastra mazhab ini nampak pada pengagungan nilai kemanusiaan dengan beragam pijakan aliran-alirannya yang terkadang berbau liberalis, eksistensialis, marxis, pragmatis maupun agamis. Dari poin terakhir inilah kita sebenarnya beralih pada perkembangan lebih lanjut dari humanisme menuju humanisme baru.

Humanisme Baru

Mazhab Humanisme Baru merupakan salah satu aliran kritik sastra yang lebih menekankan signifikansi isi atau kandungan sebuah karya sastra. Bersama-sama dengan aliran kritik Moralisme (Akhlaaqiyyah) dan kritik tematik (maudlu’atiy), mazhab ini mencoba memberi makna pada suatu karya berdasarkan fungsinya sebagai cermin bagi masyarakatnya (Rahmani, 2004 : 80).

Teori yang muncul pada abad ke-20 di Amerika ini beranjak dari asumsi bahwa ‘sastra merupakan kritik bagi kehidupan’. Dari sana tampak obyek garapannya adalah manusia sehingga menurut teori ini analisis terhadap manusia mesti sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan asasi manusia sebagai makhluk berakal, diberi tanggung jawab, bermoral dan tentu saja memiliki berbagai kecenderungan.

Berbeda dengan mazhab humanisme yang muncul pada abad sebelumnya, mazhab ini mendasarkan analisanya pada dasar keagamaan. Dari sini nampak bahwa neohumanisme yang kita bicarakan ini merupakan kelanjutan dari humanisme Kristen yang memang berbeda pendekatannya dengan humanisme awal yang kadang berkonotasi dengan rennaissans.

Alengka menyebutkan penderitaan-penderiataan negatif sebagai peletup humanisme baru seringkali bersikap lokal dan partikular. Terutama dari aneka penderitaan eksistensial, bukan dari spekulasi metafisik manusia menyadari apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan dan tidak dikehendaki. Dari pengalaman penderitaan riil pula manusia dapat menilai kembali apakah segala sistem dan diskursus yang smpat diagung-agungkan selama ini ada gunanya atau perlu dirombak.

Dari pengalaman negatif itu pula agaknya manusia pelan-pelan belajar menghayati suatu spiritualitas universal seperti yang diam-diam dihayati tokoh-tokoh kemanusiaan besar di segala penjuru bumi dan di sepanjang zaman. Yaitu spiritualitas yang dijiwai prinsip bahwa ‘nasib orang lain (termasuk musuh saya) adalah tanggung jawab saya’, inti kasih sayangt yang sebenarnya dikandung hampir semua tradisi keagamaan besar, namun sering dilupakan (http//www.Indo-News.com).

Karya Sastra sebagai cermin kehidupan

Adalah niscaya ketika sebuah karya sastra sarat dengan unsur-unsur teologis atau yang disebut juga sastra teologis. Dan tidak mengherankan jika kajian di dalamnya sangat ditekankan adanya keterkaitan erat antara sastra dan agama yang merupakan sumber etika. Maka mazhab humanis baru berupaya menganalisis estetika sastra sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan moral dan penghalusan budi manusia. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan, namun kebebasan yang dimaksud bukan hanya dari segi pergaulan tetapi juga suatu ketundukan terhadap hati nurani. Setelah madzhab tersebut mendasarkan diri pada agama yang kemudian memunculkan sastra teologis, ia terus beranjak pada wilayah filosofis yang nantinya akan melahirkan sastra filosofis, mengingat wilayah keduanya sangat berdekatan.

Kajian yang menggunakan pendekatan seperti ini sangat melimpah di Eropa. Tafsiran-tafsiran terhadap sastra teologis Dante memiliki jumlah yang tidak terhitung. Di antara karyanya adalah yang berjudul Divine Comedy (komedi ketuhanan) atau Al Kûmedî Al-Ilâhiyah dalam versi Arabnya (Rahmani, 2004 : 80-81).

Sementara itu di Rusia muncul kritikus dari kalangan ahli metafisika yang menafsirkan sastra dengan batasan-batasan sikap filosofis mereka. Namun fenomena ini memicu reaksi sebagian kritikus lainnya seraya mempertanyakan ‘apakah puisi dapat dikatakan lebih bernilai manakala lebih filosofis?. Lebih jauh mereka mempertanyakan ‘apakah mungkin suatu puisi dinilai berdasarkan nilai filosofis yang dikandungnya, atau berdasarkan derajat perenungannya yang tampak dari landasan filosofisnya? Atau bahkan penilaiannya diberikan berdasarkan orisinalitas filsafat atau derajat modifikasinya terhadap pemikiran tradisional? Sedangkan di Perancis dalam merespon fenomena ini muncul beberapa buku di antaranya ‘Sejarah Citarasa Keagamaan Prancis’ pada abad ke -17.

Rene Wellek pernah mengemukakan pertanyaan penting berkaitan dengan problematika hubungan antara sastra, pemikiran dan filsafat. Pada gilirannya dia berpendapat bahwa keberadaan pemikiran-pemikiran dalam karya sastra bukan sesuatu yang bertentangan sepanjang hanya sebatas bahan mentah berupa informasi dan tidak memunculkan kesulitan. Hal ini berbeda ketika pemikiran-pemikiran (filosofis) ini muncul dalam rajutan karya sastra sebagai simbol-simbol atau menjadi semacam mitos/ dongeng. Namun pada akhirnya ia menekankan untuk menyikapi sastra filosofis ini sebagaimana sastra lainnya, yaitu bukan dari segi materinya tetapi dari segi kekuatan seninya.

Dalam ungkapan yang lebih singkat dapat dinyatakan bahwa humanisme baru menawarkan paradigma yang relatif berbeda dalam melihat fenomena termasuk di dalamnya karya sastra di mana yang disebut terakhir dianggap sebagai cermin bagi kehidupan itu sendiri sehingga patokan moral diletakkan pada posisi yang cukup signifikan.

Penutup

Berdasarkan uraian singkat tersebut saya menyimpulkan bahwa aliran humanisme baru sebenarnya berangkat dari pemahaman sastra sebagai kritik bagi kehidupan. Di dalamnya terdapat peran penting manusia yang menjadi tema besarnya. Manusia yang diberi akal budi yang pada gilirannya meniscayakan lahirnya tanggung jawab dalam perjalanan hidupnya. Di sinilah letak pentingnya agama sebagai sumber nilai.

Demikianlah uraian sederhana mengenai mazhab humanisme baru. Tentu terdapat banyak kekurangan di berbagai tempat penyajian. Kritik dan saran sangat dinantikan guna penyempurnaan tulisan ini.

Daftar Pustaka

1. Ahmad Rahmani, Nadzariyya:t Naqdiyya Wa Tathbi:qa:tuha:, Maktaba Wahba, Alqa:hira, 2004

2. Ali Syariati, Humanisme; Antara Islam dan Mazhab Barat, Dar Al-Shahf, Teheran, 1410 H

3. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kedua, Pebruari 2000

4. http//www.Indo-News.com (Panji Alengka, sebuah nama samaran bagi seorang dosen Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung)