Jumat, 13 Februari 2009

Review buku Geertz

Book Review

Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa

Penulis : Clifford Geertz

Cetakan kedua 1983 PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta

Dialihbahasakan oleh : Aswab Mahasin

Dari The Religion of Java (1960), The Free Press of Glencoe London

Periview : Fuad Munajat

Tesis utama Geertz

Karya Geertz, The Religion of Java, memiliki signinifikansi yang luar biasa sebagai catatan etnografi yang mula-mula mencakup secara detail praktek keagamaan orang Jawa dan memberikannya penafsiran-penafsiran yang memudahkan orang lain untuk memahami dan mengerti kebudayaan atau lebih tepatnya tindakan keagamaan yang dilakukan masyarakat Jawa.

Karya ini mendasarkan kajiannya pada tesis utama bahwa masyarakat Jawa dilihat dari sudut pandang pelaksanaan tindak keagamaan dan afiliasi domisili dan okupasi terbagi ke dalam tiga varian keagamaan yakni abangan, santri dan priyayi. Secara sederhana abangan diasosiasikan dengan petani yang tinggal di desa-desa dan dipandang sebagai varian yang lebih dekat dengan pemahaman animistik dalam orientasi keagamaannya. Lain halnya santri yang secara okupasi didominasi kalangan pedagang yang memegang kendali pasar _meski bukan sebagai pedagang dalam skala besar_ dan diasosiasikan dengan penganut ajaran Islam yang taat. Adapun varian priyayi merupakan kelompok yang menduduki elit kekuasaan dengan posisi-posisi pemerintahan dan seringkali diasosiasikan dengan kota serta lebih dekat dengan ajaran mistik dalam orientasi keagamaannya.

Di samping tesis utama tersebut sebenarnya Geertz juga mengajukan pendekatan lain dalam mencobapahami praktik keagamaan orang Jawa dan struktur masyarakat Jawa pada umumnya. Geertz menyatakan bahwa dalam memahami masyarakat Jawa juga dapat digunakan pendekatan dikotomis konservatif dan modernen. Ia melihat seluruh varian keagamaan sebagaimana disebut di muka juga terbagi dalam dua kelompok yang mewakili orientasi ideologisnya. Kalangan abangan mendapat bentuk moderennya dalam organisasi Permai. Kalangan santri tentu lebih tampak lagi rivalitasnya di mana NU di sisi konservatif sedangkan Muhammadiyah, Masyumi dan PSII di sisi modernis. Kalangan priyayi juga tidak luput dari kecenderungan ini yakni dengan adanya dua orientasi lama dan baru pada sekte-sekte mistik priyayi antara sebelum perang dan sesudahnya. Dengan demikian sekte mistik yang muncul setelah perang lebih mencerminklan orientasi modernis seperti sekte Budi Setia, Sumarah dan Kawruh Beja sedangkan sekte-sekte mistik seperti Ilmu Sejati dan Kawruh Kasunyatan berhaluan konservatif.

Tiga varian keagamaan; abangan, santri dan priyayi

Temuan Geertz yang paling berharga adalah identifikasinya yang trikotomis_Geertz menganggap identifikasi ini sebagai identifikasi yang dilakukan oleh orang Jawa sendiri[1]_ yakni pembagian masyarakat Jawa menjadi tiga varian abangan, santri dan priyayi.

1. Abangan

Varian abangan merupakan varian keagamaan yang menitikberatkan aspek animistis dari sinkretrisme Jawa sebagai pola keagamaannya dan senantiasa dihubungkan dengan petani yang tinggal di pedesaan (Geertz : 8). Geertz sedari awal menyadari bahwa terma abangan menjadi mudah dimengerti dalam penghadap-hadapannya dengan terma santri. Yang pertama mewakili kelompok yang tidak memedulikan doktrin keagamaan (Islam) dan terlampau memerhatikan detail ritual sedangkan yang kedua merupakan sisi kebalikannya (Geertz : 172).

Meskipun demikian Geertz tampak lebih menganggap terma abangan sebagai varian keagamaan yang dalam hal ini bukan hanya bermakna ketika dilihat dalam penghadap-hadapannya dengan santri tetapi juga dengan priyayi. Hal penting yang dapat dicatat di sini adalah pernyataan Geertz bahwa kategori-kategori atau varian-varian yang dia kemukakan tidak diperlakukannya secara absolut meskipun seringkali uraiannya mengindikasikan sebaliknya[2].

Abangan dalam kacamata Geertz menampilkan sosok yang cukup menarik. Di satu sisi abangan mewakili kelompok yang abai dengan pelaksanaan doktrin keagamaan yang ketat bahkan dalam banyak kesempatan menentangnya di sisi lain abangan menampilkan wujud kasar dari perilaku priyayi. Dalam hal ini beberapa contoh diajukan Geertz antara lain kesenian-kesenian tinggi priyayi yang di tangan kelompok abangan menjadi seni kasar, praktek mistik yang oleh priyayi sangat dijunjung tinggi di tangan abangan berubah menjadi praktik perdukunan, minat kepada pengalaman keagamaan individual di tangan abangan menjadi minat kepada keagamaan kelompok (Geertz : 315).

Dengan demikian Geertz memandang perbedaan antara abangan dengan santri lebih dilihat dalam kaitannya dengan orientasi keagamaan atau ketaatan seseorang terhadap agama sementara perbedaan antara abangan dengan priyayi lebih didasarkan pada "segi isi budaya" di mana orientasi priyayi dan abangan "untuk sebagian hanya merupakan versi halus dan kasar dari masing-masingnya" (Geertz : 315).

Uraian Geertz tentang varian abangan didominasi oleh kajiannya mengenai slametan. Slametan dalam pandangan Geertz Slametan adalah "versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia; ia melambangkan kesatuan mistis dan social mereka yang ikut serta di dalamnya" (Geertz : 13). Geertz juga menganggap slametan sebagai "upacara dasar yang inti di sebagian masyarakat Mojokuto di mana pandangan dunia abangan paling menonjol" (Geertz : 17).

Penjelasan Geertz yang sangat detail mengenai upacara slametan di kalangan abangan membawa kepada penyimpulan bahwa di mata Geertz slametan bagi kelompok abangan adalah segala-galanya dan menempati posisi sentral.

Lebih jauh Geertz mengidentifikasi jenis-jenis slametan yang menurutnya terbagi dalam empat jenis : (1) yang berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan_kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian; (2) yang ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam _maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya; (3) yang ada kaitannya dengan integrasi social desa, bersih desa; (4) slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami seseorang _keberangkatan untuk suatu perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung, dan sebagainya (Geertz : 38).

Hal yang patut diperhatikan adalah semua jenis slametan tersebut tetap memiliki keterkaitan dengan Islam[3]. Meskipun dalam banyak kesempatan kelompok abangan membenci santri tetapi dalam kenyataannya mereka tetap membutuhkan kelompok santri untuk memimpin ritual-ritual slametan. Hal ini tidak lain karena rangkaian kegiatan slametan senantiasa memuat sesi pembacaan doa yang biasanya hanya dikuasai kalangan santri.

Penting pula dicatat dalam kesempatan ini bahwa meskipun slametan merupakan ritual yang selalu dikaitkan dengan kalangan abangan, keberadaannya sebagai ritual ternyata juga dimiliki atau dilaksanakan oleh kalangan lain semisal santri atau priyayi. Perbedaannya terletak pada penafsiran slametan itu sendiri. Bagi kalangan abangan persembahan yang mereka berikan ditujukan demi harmonisasi dengan para roh leluhur yang diyakini terkadang melakukan gangguan-gangguan atau bisa juga ditujukan untuk keselamatan yang dalam istilah Geertz digunakan frase "gak ana apa-apa" (Geertz : 18) tetapi bagi kalangan santri slametan lebih ditujukan sebagai upaya berdoa memohon keselamatan kepada Allah SWT.

2. Santri

Santri merupakan varian yang memiliki kecenderungan ketaatan kepada ajaran-ajaran Islam. Geertz menyebutnya sebagai kalangan "yang mewakili suatu titik berat pada aspek Islam dan umumnya dihubungkan dengan elemen dagang (dan kepada elemen tertentu di kalangan tani juga)" (Geertz : 8).

Mengidentifikasi varian santri tentu lebih mudah karena afiliasinya kepada ajaran Islam mempermudah pelacakan kepada dogma-dogma maupun nilai moral yang umum dianut di kalangan Islam. Namun demikian santri dalam pandangan Geertz tidak sesederhana sebagaimana pemeluk agama Islam di belahan duania lainnya. Terdapat dua orientasi utama yang sebagaimana disebut dalam bagian terdahulu yakni adanya kelompok konservatif dan kelompok moderen. Kedua kelompok tersebut pada saat dilakukan penelitian Geertz (sekitar dekade 50-an) telah menunjukkan rivalitasnya yang intens dan berlanjut hingga hari ini. Lima pasang pertentangan antara konservatif dan moderen dalam kalangan santri (Geertz : 203-204) dapat dilihat pada tabel berikut :

No

Konservatif

Moderen

1

Tekanan terutama diberikan pada hubungan dengan Tuhan di mana penerimaan rahmat dan berkat sebagai hasil kemurahan-Nya dan sebagai ganjaran untuk keteguhan moral dan pengertian bahwa nasib ditetapkan oleh kehendak Tuhan (fatalis)

Menitikberatkan hubungan dengan Tuhan dalam mana kerja keras dan penentuan nasib sendiri jadi titik beratnya

2

agama bersifat kaffah (menyeluruh) dalam kehidupan, di mana semua segi usaha manusia cenderung menerima makna keagamaan dan di mana batas antara apa yang bersifat keagamaan dan sekuler cenderung kabur

Memegang pengertian yang sempit tentang agama di mana hanya aspek-aspek tertentu yang jelas batasnya yang dianggap suci dan di mana batas antara apa yang agama dan apa yang sekuler cenderung cukup tajam

3

Secara umum berorientasi unifikasi terhadap kultur setempat

Menuntut Islam yang sudah dimurnikan dari tiap anasir keagamaan yang lain

4

Memberi tekanan pada aspek penyempurnaan langsung agama, untuk memberi tekanan pada pengalaman keagamaan

Memberi tekanan pada aspek instrumental agama dan sangat memperhatikan tingkah laku keagamaan

5

Mempedomani madzhab yang terperinci dalam kitab-kitab ulasan keagamaan yang tradisional

Membenarkan hal itu atas dasar nilai pragmatisnya dalam kehidupan masa kini dan dengan penunjukan umum kepada Qur’an dan Hadits yang ditafsirkan secara bebas

Uraian Geertz mengenai varian santri tidak hanya menyangkut perihal dikotomi moderen dan konservatif, lebih jauh Geertz menyebutkan pola ibadah santri sebagai karakteristik seseorang dimasukkan ke dalam kelompok santri atau bukan. Pola-pola ibadat santri yang utama adalah sembahyang lima waktu, shalat Jum'at dan puasa (Geertz : 289-301). Tentu saja ibadat-ibadat yang dicatat Geertz belum mencakup kompleksitas ibadat yang dilakukan santri tetapi mungkin hal-hal itu yang tampak menonjol pada saat penelitiannya.

Masih dalam kerangka modernisme versus konservatif, Geertz mencatat pola pendidikan kalangan santri yang dikelompokkan ke dalam pondok pesantren dan madrasah (kalangan konservatif/ tradisional) dan dengan sekolah agama moderen adaptasi sistem pendidikan Barat (kalangan Moderen) (Geertz : 241, 254, dan 258).

Dalam lapangan politik, kalangan santri juga terbelah ke dalam afiliasi politik yang diwakili partai-partai baik tradisional maupun moderen. Nahdlatul Ulama (NU) mewakili haluan santri konservatif sedangkan Masyumi (Muhammadiyyah cenderung berafiliasi di dalamnya) merupakan saluran bagi kalangan santri yang lebih berorientasi moderen. Di samping itu ada juga partai kecil Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) yang juga berhaluan modernis (Geertz : 220).

Melihat uraian-uraian Geertz mengenai santri sebagaimana sepintas diketengahkan, laik sekali kalau uraiannya tersebut disematkan sebagai uraian dengan perspektif dikotomis konservatif-moderen. Kenyataan juga membuktikan dikotomi konservatif-moderen di kalangan santri memang terlihat merupakan dikotomi yang paling kentara meskipun penelitian yang terkemudian (seperti yang dilakukan oleh Dhofier, 1978) menemukan kelemahan perspektif dikotomi konservatif-moderen dan menuduhnya sebagai pendekatan yang tidak dapat menggambarkan Islam Jawa secara memadai.

3. Priyayi

Priyayi merupakan varian yang menempati struktur elit masyarakat Jawa. Varian ini sering diasosiasikan dengan birokrasi pemerintahan yang sejak zaman kolonial mendapat posisi terhormat di kalangan masyarakat. Sebagai sub-kategori masyarakat Jawa, priyayi lebih mudah diidentifikasi dalam penghadap-hadapannya dengan wong cilik atau massa petani.

Geertz mengidentifikasi priyayi sebagai "orang yang bisa menyelusuri asal-usul keturunannya sampai kepada raja-raja besar Jawa jaman sebelum penjajahan; yang setengah mitos; tetapi sejak Belanda mempekerjakan kaum ini sebagai instrument administrasi kekuasaanya, pengertian priyayi meluas termasuk orang kebanyakan yang ditarik ke dalam birokrasi akibat persediaan aristocrat asli sudah habis" (Geertz : 308).

Tampak adanya perluasan makna priyayi yang kemungkinan disebabkan semakin sulitnya ditemukan priyayi yang asli dilihat dari sudut keturunannya. Namun demikian terdapat kemampuan atau mungkin kepercayaan di sebagian orang Jawa bahwa priyayi asli tidak akan tertukar dengan priyayi yang bukan berasal dari keturunan priyayi yang asli. Geertz tampaknya menggunakan definisi operasional yang lebih longgar terkait terma priyayi.

Priyayi senantiasa diasosiasikan dengan tradisi agung yakni kelompok yang mewarisi kebudayaan raja-raja Jawa. Tidak heran jika priyayi sering diidentikan dengan kelompok ideal yang seharusnya dicapai oleh individu-individu Jawa. Pun dalam kaitannya dengan pelaksanaan keagamaan priyayi memiliki ajaran mistik yang sangat abstrak yang sebagaimana telah di sebut di atas berubah menjadi praktek perdukunan di tangan kalangan abangan (wong cilik). Kepercayaan mistik demikian, menurut Geertz, bersumber dari ajaran-ajaran Islam yang mendapat pengaruh tradisi Hindu-Budha (Geertz 307). Geertz malah terang-terangan menghubungkan priyayi pada aspek-aspek Hindu (Geertz : 8).

Jika dibandingkan dengan varian santri dalam hal pengamalan ajaran agama, priyayi tampak lebih dekat dengan kalangan abangan yang juga abai terhadap doktrin-doktrin keagamaan. Hal ini kemungkinan karena orientasi keagamaan priyayi yang sinkretis dan kalaupun terdapat pengamalan-pengamalan Islam tentu sudah mendapat penafsiran yang berbeda sebagaimana yang ditemukan Mark Woodward dalam kajian terhadap Islam di Kraton Yogyakarta.

Apa yang dikemukakan Geertz mengenai priyayi lebih merupakan penekanan unsur-unsur halus dari tradisi kalangan abangan dengan mistik sebagai sarana spiritual yang mendominasi kehidupan spiritual mereka. Dalam hal ini priyayi memiliki empat elemen dasar yang senantiasa menjadi pagar dan sekaligus menjadi karakter utama yang membedakan priyayi dengan non-priyayi. Keempat unsur dasar itu adalah etiket, bahasa, kesenian, dan mistik (Geertz : 414).

Tafsir atas praktek keagamaan orang Jawa

Geertz telah memberikan sumbangan yang besar dalam kajian mengenai Islam Jawa. Sumbangan tersebut tidak hanya berupa perspektif trikotomis yang hingga kini tetap dipandang sebagai pendekatan yang cukup memadai _meski banyak pihak yang mengkritik pendekatan tersebut_ tetapi hal yang tentu sangat berguna bagi diskursus metodologis antropologis secara umum. Geertz telah merintis pendekatan yang lebih berorientasi pada kebudayaan sebagaimana dipraktekkan para pendukung kebudayaan tersebut.

Geertz dapat memahami agama Jawa melalui praktek-praktek keagamaan orang Jawa dan berbagai penafsiran simbol-simbol yang digunakan oang Jawa dalam mengartikulasikan kepercayaan-kepercayaan mereka dalam aktivitas-aktivitas yang sangat kompleks.

Ritual-ritual krisis orang Jawa yang sangat kompleks dan beragam di mata Geertz tampak analog dengan sebuah busur (Geertz : 48) yang lengkungannya bergelombang dari kecil (sedikit/sepi) menuju besar (ramai, melibatkan banyak pihak) hingga kecil lagi (sepi/ sunyi) dalam ritus pemakaman merupakan penafsiran yang sangat jenius. Belum lagi penelusuran Geertz berkaitan dengan alus dan kasar dalam pandangan dunia priyayi semakin meyakinkan kita betapa Geertz mampu menangkap sisi tersebut hingga bagian yang paling renik.

Dalam The Religion of Java, Geertz memandang orang Jawa _dengan orientasi yang berbeda-beda_memiliki cara yang beragam dalam mengartikulasikan keyakinan mereka. Kalangan abangan mengekspresikan keyakinan mereka dengan upacara slametan di mana tujuan akhir dari upacara tersebut adalah terciptanya harmoni dalam kehidupan mereka dan dihubungkan dengan roh-roh yang bagi mereka senantiasa mempengaruhi kehidupan mereka setiap saat. Kalangan santri _sebagai kalangan yang taat kepada Islam_ mengekspresikan keyakinan mereka melalui pengamalan yang taat terhadap ajaran-ajaran Islam dan semua itu ditujukan kepada Allah SWT. Adapun kalangan priyayi lebih mengedepankan pendekatan mistik yang sangat dipengaruhi ajaran Hindu-Budha.

Meskipun demikian satu hal yang merupakan kesamaan di antara ketiga varian tersebut adalah kesepakatan mereka bahwa Islam adalah agama yang dianut oleh orang Jawa secara umum. Dengan demikian, apapun yang mereka lakukan sepanjang berkaitan dengan kepercayaan terhadap spiritualitas akan senantiasa berada pada kisaran Islam meskipun pendulumnya terkadang sangat dekat dengan Islam (pada kasus santri), maupun bergeser menjauh dari doktrin utama Islam (pada kasus abangan dan priyayi).

Geertz pada akhirnya membuat analisis tentang konflik dan integrasi yang terjadi berdasarkan adanya perbedaan-perbedaan orientasi yang dapat memecah dan beberapa persamaan yang dapat merekatkan orang Jawa. Dalam pembacaannya tersebut Geertz memandang varian-varian keagamaan tersebut dapat memecah orang Jawa tetapi terdapat mekanisme internal yang dapat meredakan potensi konflik itu. Adanya varian dengan tipe campuran memungkinkan peredaan tajamnya potensi konflik karena melalui tipe-tipe tersebut orang Jawa memiliki semacam katup pengaman yang dengan sendirinya mencairkan suasana yang mungkin tengah menegang.

Saluran-saluran spiritual yang ada pada tiap varian seperti slametan, tarekat dan jalan mistik tidak menjadi saluran ekslusif milik varian tertentu karena kanal-kanal itu ada pada tiap varian dengan penafsiran yang bisa jadi berlainan. Dalam frase lain dapat dikatakan kuenya tetap sama tetapi rasanya berbeda-beda.

Dengan demikian potensi konflik yang disebabkan adanya perbedaan orientasi dapat diperkecil melalui saluran-saluran tersebut. Belum lagi wacana nasionalisme yang pada saat dilakukanpenelitian tersebut tengah menjadibuah bibir di setiap varian. Terkecuali varian priyayi yang sedari awal diuntungkan posisinya oleh pemerintah kolonial, maka nasionalisme menjadi sarana baru dalam menegarkan integrasi di antara orang Jawa. Tidak mengherankan pada akhirnya kalangan priyayi pun turut dalam perjuangan menegarkan Republik Indonesia karena mereka memiliki akses yang paling memadai terutama setelah kaum kolonial hengkang.

Geertz dengan demikian telah berhasil menafsirkan masyarakat Jawa dari sisi praktek keagamaan mereka dan memandangnya sebagai perwujudan dari pola-pola makna yang merupakan inti kebudayaan dalam pandangan Geertz.



[1] Geertz menyebutkan "Semuanya itu bukanlah jenis yang diada-adakan, tetapi merupakan istilah dan penggolongan yang diterapkan oleh orang Jawa sendiri" (Geertz : 8)

[2] Geertz menyatakan adanya tipe-tipe campuran yang tidak dapat diabaikan (Geertz : 495) tetapi di sisi lain Geertz menyebut informan-informannya dengan status/ variannya misalnya pernyataannya "Mereka (tiga orang santri)…"(Geertz : 196) dan pernyataannya "Ketika saya bertanya padanya (seorang wanita priyayi, guru sekolah umum)…" Geertz : 267)

[3] dalam paparan mengenai jenis-jenis slametan di kalangan abangan di atas tampak salah satu jenis slametan yang dihubungkan dengan kepercayaan Islam yakni pada slametan pada hari-hari raya Islam (lih. Geertz : 38 dan 104-106)

2 komentar: