Jumat, 13 Februari 2009

Mazhab San'ah

Mazhab San’ah Pada Masa Dinasti Bani Abbasiyah

Fuad Munajat

Abstrak

Perkembangan sastra Arab mengalami beberapa fase yang mengahantarkannya pada bentuk sastra hingga kini. Di antara fase yang cukup memberi pengaruh yang cukup menonjol adalah fase Dinasti Bani Abbasiyyah. Hal ini tidak hanya dikarenakan mulai bercampurnya kebudayaan Islam dengan kebudayaan non-Islam tetapi juga dikarenakan faktor internal berupa kreasi dan inovasi yang muncul dari para sastrawan Arab yang telah sampai pada tahap kematangan dan kesiapan dalam memproduksi karya-karya yang genuin dari tangan mereka.

Kata Kunci : Sastra, Arab, Mazhab san’ah

Prolog

Dalam perkembangan sastra dikenal adanya aliran-aliran yang menandai orientasi yang dominan pada masa karya-karya tersebut tercipta. Waluyo_ dalam bukunya Teori dan Apresiasi Puisi_ menegaskan bahwa sebuah aliran sastra menjadi mode suatu zaman dan biasanya diikuti oleh sebagian besar pujangga atau sastrawan zaman itu. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa aliran sastra juga dapat menjadi ciri karakteristik karya sastra pada masa itu sehingga melalui penafsiran terhadap lambang, kiasan, pemilihan kata, ungkapa-ungkapan tertentu dapat ditentukan pemahaman kita terhadap suatu karya (Waluyo, 1987 : 32).

Dengan demikian pengetahuan mengenai aliran suatu masa tertentu memiliki urgensi yang sangat besar terlepas dari pandangan mutakhir mengenai estetika resepsi yang sudah melepaskan karya dari pengarangnya atau dengan ungkapan yang lebih tegas pengarang telah mati.

Terkait dengan poin terakhir sebenarnya karya sastra Arab memiliki karakter yang unik dibandingkan dengan karya sastra dari belahan dunia lainnya. Sejak dari masa permulaan ktritikus Arab senantiasa mengedepankan pendekatan romantik ketika berhadapan dengan karya sastrawan mereka. Ini terbukti dengan adanya penyebutan biografi setiap sastrawan pada saat ingin melakukan kajian terhadap puisi mereka.

Buku-buku Syauqi Dlaif mengenai sastra Arab dengan berbagai cabangnya baik sejarah, teori maupun kritik sastra mewarnai khazanah pemikiran sastra Arab terutama pada pertengahan abad yang lalu. Melalui karya-karya tersebut Dlaif berupaya memetakan sastra Arab dengan beragam genrenya tidak berdasarkan kategorisasi yang telah mapan. Seringkali ia menuangkan gagasan-gagasan liarnya sehingga membuat kita berdecak kagum dengan uraian-uraiannya tersebut.

Salah satu pemikirannya yang cukup unik menurut saya adalah pengklasifikasian mazhab sastra Arab, terutama puisi, ke dalam tiga kategori san’ah, tasnii’ dan tasannu’. Batasan pembahasan ini hanya terletak pada kategori san’ah dan tidak melingkupi kurun waktu Bani Abbasiyah. Dengan demikian, pembahasan tulisan ini hanya mencakup mazhab san’ah pada masa Abbasiyah dan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Di samping itu, beberapa tokoh yang mewakili mazhab ini juga ditampilkan.

Klasifikasi mazhab puisi Arab menurut Dlaif

Syauqi Dlaif menggunakan tiga terma untuk memberikan penjelasan mengenai aliran-aliran sastra yang terdapat pada sastra Arab, yakni san’ah, tasnii’ dan tasannu’. Ia lebih jauh sengaja mencari istilah genuin yang sudah digunakan para kritikus Arab tempo dulu.

Sebelumnya para kritikus klasik telah mengelompokkan sastrawan Arab ke dalam dua bagian besar, yakni ashaab thab’i (pemilik bakat) dan ashaab san’ah (mereka yang mencapai kepenyairan lewat upaya keras/ takalluf). Pengelompokkan seperti ini menimbulkan kesan bahwa tiap salah satu dari keduanya merupakan dua kelompok yang tidak pernah bersatu pada diri seseorang. Padahal kenyataannya justru sebaliknya, seorang penyair tidak mungkin hanya mengandalkan bakat kepenyairan tanpa upaya pengasahan bakat tersebut melalui upaya keras (latihan-latihan).

Hal ini mendorong Syauqy Dloif untuk mengajukan klasifikasi baru berkaitan dengan mazhab sastra Arab dalam pembicaraan ini terutama puisi. Dloif mengajukan tiga terma sebagaimana telah saya sebutkan di muka, yakni san’ah, tasnii’ dan tasannu’.

Berikut saya uraikan secara sepintas ketiga mazhab tersebut untuk memudahkan pemahaman.

1. Mazhab san’ah. San’ah adalah upaya keras (juhd) semaksimal mungkin seorang penyair dalam melahirkan karya (Dloif, 1960 : 22 alinea 1), biasanya dikontraskan dengan mathbuu’ (penyair lewat bakat). Mazhab san’ah adalah mazhab pertama yang ditemukan dalam khazanah puisi Arab. Pendapat umum menduga bahwa bidang sastra zaman praislam merupakan lahan yang sangat sederhana dan tidak pernah memuat hal-hal yang sulit. Dugaan ini terbukti salah karena kenyataanya para penyair pada masa praislam justru menyuguhkan seni yang sangat baik dan tidak sederhana sehingga membuktikan kerasnya upaya mereka dalam melahirkan karya-karya. Hal ini tentu disebabkan kepenyairan bagi mereka merupakan suatu bentuk profesi yang mulia dan bahkan terkenal pada masa itu puisi-puisi periodik (hauliyyat/ satu tahunan) yang menegaskan persiapan matang mereka.

2. Mazhab tasnii’. Secara bahasa tasnii’ berarti penghiasan (zukhruf wa tanmiiq). Aliran ini mulai muncul sebagai kecenderungan utama pada abad kedua dan ketiga Hijriyah dalam karya-karya Muslim bin Al-Waliid, Abu Tammaam dan Ibn al-Mu’taz. Meskipun demikian, pada masa ini aliran san’ah juga masih dipegang kuat oleh para penyair besar semisal Basysyar bin Burd, Abu Nuwas, Al-Buhturiy dan Ibn ar-Ruumiy.

3. Mazhab tasannu’. Tasannu’ secara bahasa merupakan upaya keras (takalluf) dalam batasnya yang ekstrim. Istilah ini merupakan potret kehidupan sastra (puisi) pada abad keempat Hijriyah. Pada masa ini penyair mulai menggunakan ‘makna jauh’, di samping menambahkan perhiasan dan ungkapan-ungkapan yang ganjil atau asing bahkan memungut bahan-bahan yang berkaitan dengan tasawuf dan filsafat.

Berkaitan dengan aliran-aliran tersebut, puisi Arab ternyata tidak berbeda dalam makna, tema, matra maupun rima namun perbedaan justru terdapat pada bentuk dan gaya (siyaagat dan uslub).

Ketiga aliran tersebut dapat juga dianggap sebagai penanda fase yang dilalui puisi Arab. Pada awalnya mazhab san’ah mendominasi, kemudian dilanjutkan mazhab tasnii’ dan terakhir diikuti mazhab tasannu’. Setelah mazhab yang terakhir ini para penyair mengalami semacam kemandegan yang menyebabkan belum lagi muncul mazhab atau aliran baru.

Beberapa faktor yang memengaruhi aliran san’ah pada masa Abbasiyah

1. Syu’ubiyyah (fanatisme kesukuan)

Kejatuhan dinasti Umayyah merupakan blessing in disguise (rahmat di balik malapetaka) dalam sejarah perkembangan umat Islam. Tentu saja hal ini bisa didiskusikan lebih jauh tergantung dari sudut pandang mana kita melihat. Bagi suku bangsa Arab kejatuhan ini merupakan pukulan telak yang mengakhiri dominasi suku tersebut selama beberapa abad. Bagi sebagian suku Arab (kelompok Alawiyyin) dan bangsa Persia kejatuhan ini merupakan berkah yang telah ditunggu-tunggu dikarenakan kebijakan dinasti Umayyah yang sangat ‘Arabis sentris’ sehingga menimbulkan kecemburuan.

Sejak masa dinasti bani Umayyah puisi-puisi yang berbau primordial banyak diintrodusir untuk mengagungkan klan masing-masing. Di antaranya puisi Basysyar bin Burd sebagai berikut :

هل من رسول مخبر # عني جميع العرب

بأنني ذو حسب # عالٍ على ذي الحسب

جدي الذي أسمو به # كسرى ، و ساسان أبي

و قيصرُ خالى إذا # عددت يوما نسبي

(Dloif, 1960 : 98)

Nampak sekali betapa Basysyar sangat mengagung-agungkan trahnya yang berasal dari keturunan dinasti besar di Persia. Masa dinasti Abbasiyah ditandai dengan pemerintahan bangsa Persia dengan keluarga Barmak sebagai perdana menteri beberapa generasi.

2. Kecenderungan bersenda gurau

Dalam hal ini patut ditekankan bahwa wilayah penaklukan bangsa Arab berasal dari Area yang sudah memiliki akar kebudayaan lebih tua dan lebih tinggi tingkat peradabannya. Sebagian besar merupakan daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Bizantium.

Dloif menyatakan bahwa bangsa Arab mengenal hiburan (dalam arti negative) pada abad ketiga yakni pada saat bangsa Persia mendapatkan kebebasan yang sangat besar. Pendapat ini tentu masih dapat diperdebatkan karena cukup tendensius. Lebih jauh Dloif mengatakan bahwa pada masa itu minuman keras dan biduanita bertebaran di semua tempat sehingga mempengaruhi puisi Arab baik dari sisi makna maupun matranya (Dloif, 1960 : 100). Di antara para penyair yang banyak bergumul dengan kebiasaan buruk ini adalah Abu Nuwas, Hussain bin Ad-Dlahhaak dan Abul ‘Ataahiyah.

Kebiasaan bergumul dengan minuman keras terekam dalam puisi Abu Nuwas berikut ini :

و خذ ها إن أردت لذيذ عيش # و لا تعدل خليلي بالمدامٍ

و إن قالوا حرام قل حرام # و لكن اللذاذة فى الحرام

(Dlaif :106)

3. Kezindikan dan kezuhudan

Kalau kita mengikuti alur berpikir Dloif, kita akan sampai pada pendapatnya yang menyatakan bahwa semua hal-hal buruk yang terjadi pada dunia Islam berasal dari kebudayaan Persia yang materialistis dan mencemari kemurnian Islam yang sebelumnya terjaga. Berulang kali saya menegaskan bahwa pendapat semacam ini masih dapat diperdebatkan karena sebenarnya setiap kebuyaan manapun pada saat berada pada puncaknya akan berhadapan dengan fenomena-fenomena yang amat ambigu.

Hal ini menurut hemat saya karena semua hal yang berada di puncak akan mudah tergoda untuk menjelajahi pengalaman dan fenomena baru yang tidak atau belum dilihat oleh pihak lain yang belum sampai pada fase tersebut dan bukan karena kebudayaan tertentu yang menurut preasumsi kita sudah dinilai buruk!

Demikian halnya dengan persoalan zindik, Dloif menyatakan bahwa Persialah tempat ajaran ini berasal. Persoalan zindik juga tidak terlepas dari makin luasnya daerah penaklukan Islam yang mengakibatkan banyaknya paham baru yang sebelumnya belum dikenal dalam Islam.

Puisi yang berkisah tentang perihal kezindikan di antaranya adalah sebagaimana tertera berikut ini :

إبليس أفضل من أبيكم آدم # فتنيهوا يا معشر الفجار

النار عنصره و آدم طينة # و الطين لا يسمو سمو النار

(Dlaif :112)

Sementara persoalan zuhud juga merupakan kecenderungan utama yang muncul akibat pertikaan politik yang berujung pada tajamnya perbedaan teologis dan memacu sebagian orang untuk meninggalkan segala perdebatan dan memilih jalan asketik yang merupakan awal dari kemajuan tasawuf. Adapun contoh puisi yang bertema zuhud adalah sebagai berikut :

رأيت صلاح المرء يصلح أهله # و يعديهم داء الفساد إذا فسد

يعظم فى الدنيا بفضل صلاحه # و يحفظ بعد الموت فى الأهل و الولد

(Dloif : 117)

4. Hubungan kebahasaan

Pada masa dinasti Abbasiyah pusat kota berpindah dari Dameskus ke Baghdad. Kota yang disebut terakhir ini menjadi tempat bertemunya berbagai bangsa dengan latar kebahasaan yang beragam. Dengan mudah dapat dipahami bahwa orang-orang yang bukan penutur asli bahasa Arab pada gilirannya mengalami kesulitan dalam mengucapkan kata-kata maupun ungkapan bahasa Arab.

Hal ini juga memengaruhi karya-karya yang diciptakan para penyair yang bukan penutur asli bahasa Arab. Sehingga sering kali ditemukan adanya perbedaan misalnya dari sisi fonetik seperti pengucapan makharijul huruf yang tidak semestinya dan berpengaruh pada penulisannya dalam puisi.

5. Hubungan kebudayaan

Pusat-pusat kebudayaan yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Bizantium berangsur-angsur berpindah ke tangan kaum muslimin. Mulai dari Jundisapur, Harraan, Antiokh, maupun Iskandariyah. Kesemuanya itu memiliki perpustakaan-perpustakaan ternama yang menyimpan kekayaan pengetahuan yang tidak berapa lama kemudian dialihaksarakan ke dalam bahasa Arab dan pada akhirnya mengubah kebudayaan kaum muslimin menjadi lebih maju. Hal ini bisa dilihat dari keberadaan baitul hikmah milik al-Makmun.

Utsman Hawafi memberikan penjelasan berbeda mengenai munculnya feature baru dalam perpuisian Arab. Ia tidak menggunakan istilah san’ah sebagaimana Dlaif tetapi jika diperhatikan keterangan mengenai feature baru puisi Arab pada masa Abbasiyah awal maka tokoh-tokoh maupun puisi yang dimaksud sama dengan keterangan Dlaif. Dengan demikian uraian Hawafi saya kutip guna menegaskan kemunculan san’ah atau feature baru dalam syi’ir.

Menurut Hawafi paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya feature baru syi’ir masa Abbasiyah awal. Ketiga faktor tersebut adalah adanya friksi social, munculnya sekte keagamaan dan terakhir intensnya gerakan penerjemahan (Hawafi : 22). Faktor-faktor sebagaimana tersebut di atas terejawantah dalam empat fenomena dominant pada masa itu yakni (i) system politik Daulat Abbasiyah yang berbeda dengan system politik pada masa sebelumnya; (ii) gerakan politik primordial (iii) kebiasaan-kebiasaan asing (bagi masyarakat Arab pada umumnya); (iv) Adanya orientasi dan kecenderungan asing. Jelas sekali apa yang disebutkan Hawafi sejatinya setali tiga uang dengan keterangan Dlaif namun dalam redaksi dan penekanan yang berbeda.

Nampak dari paparan Hawafi adanya persamaan pemikirannya dengan pemikiran Dlaif misalnya pada perwujudan faktor-faktor pada poin (i) dan (ii) yang dalam bahasa Dlaif disebut dengan fanatisme syu’ubiyyah. Intinya memang ada pergeseran kekuatan yang menopang Daulat Islamiyyah kala itu dari tangan orang Arab ke tangan orang Persia sehingga persaingan di antara keduanya juga sebagian besar terekam pada karya sastra dalam hal ini puisi.

Sedangkan perwujudan poin (iii) dan (iv) sejatinya juga terdapat dalam faktor yang disebutkan Dlaif yakni ketika ia menyebut adanya hubungan kebudayaan karena biasanya kebudayaan, meskipun tidak seluruhnya, dibatasi dengan perbedaan bahasa sehingga muncul istilah asing dan genuin. Adapun poin ke-2 dan ke-3 dari faktor yang disebut Dlaif lebih terlihat sebagai akibat ketimbang faktor sehingga Hawafi tidak menyebutnya sebagai sesuatu yang patut diperhitungkan meskipun dalam uraian lengkapnya Hawafi juga memberikan uraian singkat tentang keduanya.

Masa kejayaan mazhab san’ah

Perkembangan puisi pada abad kedua dan ketiga maupun relasi barunya dengan lingkungan yang lebih heterogen memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi puisi Arab. Sebagaimana halnya pengaruh kebudayaan Persia sebagai pemegang sesungguhnya kekuasaan dengan segala latar budayanya, Dloif secara khusus menyebut budaya hiburan (dalam arti negative), sangat mewarnai keberadaan puisi Arab saat itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa puisi Arab memasuki babak baru, babak yang sebenarnya dalam banyak hal masih melestarikan kekayaan masa lampaunya.

Keberadaan puisi pujian (madah), dan elegi (ritsa) lebih dekat pada bentuk masa lampaunya ketimbang perkembangan puisi gazal, khamar dan mujuun (senda gurau) yang memang sangat menjamur pada masa ini. Dari sisi makna mereka memanfaatkan pengetahuan yang saat itu meningkat sangat pesat. Sementara dari sisi bentuk mereka banyak membuat matra-matra baru akibat pengaruh pendendangan dan alat musik. Di samping itu mereka melakukan inovasi pada penggunaan matra penggalan (majzuu’aat)( Dloif, 1960 :146).

Dalam kesempatan yang berbeda Dlaif juga menekankan bahwa puisi gazal, khamriyyat dan mujun bukanlah semata fenomena pada masa Bani Abbasiyah namun gejalanya sudah tampak pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Pada masa yang disebut terakhir ini sudah terdapat puisi-puisi tentang khamar hasil pujangga al-Walid ibn Yazid atau puisi gazal sebagimana banyak dihasilkan oleh Ibn Abi Rabi’ah (Dlaif, 1952 : At-Tathowwur wa at-Tajdid fi asy-Syi’ri al-Umawiy, 8-9). Perbedaan yang mungkin dapat dikemukakan adalah intensitas penggubahannya yang sangat pesat pada masa Abbasiyah di samping adanya ekstrimitas yang sangat mencengangkan berkaitan dengan materi teks yang meluas sampai tema-tema yang sangat tabu pada masa tersebut bahkan bisa jadi bertentangan dengan norma kemanusiaan sepanjang masa seperti gazal terhadap sesame jenis (al-gazal bi al-mudzakkar). Hampir semua pujangga pada masa ini memiliki karya pada genre tersebut mulai dari Abu Nuwas, Hussain ibn al-Dlahhak, Abu Tammam, Ibn al-Mu’taz, Abdullah ibn Abbas ibn al-Fadl sampai dengan Ibn al-Rumiy. Berikut kutipan syi’ir dengan genre al-gazal bi al-mudzakkar hasil gubahan Abdullah bin Abbbas ibn al-Fadl sebagaimana dikutip Hawafi halaman 285 :

و شادن ما رأت عيني له شبها # فى الناس عجما و لا عربا

إذا بدا مقبلا، نادت وا طربا # و ان مضى معرضا ناديت وا حربا

(Hawafi, tt. : 285)

Beberapa tokoh mazhab san’ah

Berikut saya cantumkan beberapa tokoh penting mazhab san’ah pada masa dinasti bani Umayyah

1. Basyar ibn Burd

Nama lengkapnya Basyar ibn Burd ibn Yarjuukh. Ia dilahirkan di Bashrah pada decade akhir abad pertama Hijriah. Kakeknya Yarjuukh merupakan penguasa Khurasan dan karena itu sejak kecil ia hidup dengan kecukupan. Sementara ibunya merupakan keturunan bangsa Romawi.

Penyair berdarah Persia-Romawi ini mendasarkan puisi-puisinya atas perbandingan yang amat rinci antara unsur-unsur tradisional puisi Arab masa lampau dengan unsur-unsur baru yang digali dari kebudayaan dan pengetahuan yang ada pada masanya. Metode yang digunakannya menjadi acuan bagi penyair-penyair setelahnya yang berupaya mengembangkan puisi Arab tanpa memutuskan hubungannya dengan tradisi lampaunya (Dloif, 1960 : 157).

Hal yang paling menonjol pada diri Basyar adalah kepionirannya dalam pembaharuan syi’ir Arab dengan usahanya menciptakan karya-karyanya dalam bentuk ruba’iyyat, muzdawij dan musammathat namun tetap menggunakan bahasa yang fasih.

2. Abu Nuwas

Abu Nuwas hidup pada saat kebudayaan Persi sudah sangat dalam pengarunya terhadap kehidupan masa Daulat Abbasiyah. Nama lengkapnya Abu Nuwas al-Hasan ibn Hani. Sama halnya dengan Basyar, Abu Nuwas memiliki trah Persi baik dari pihak ayah maupun ibunya.

Sebagaimana telah dikutip di atas Abu Nuwas terkenal sebagai penyair Khomriyat yang paling unggul. Ia juga terkenal dengan kepenyairan dalam gazal. Bahkan di tangannya ekstrimitas gazal terjadi yakni al-gazal bi al-mudzakkar sebagaimana terekam dalam puisi berikut :

و من عجب لعشقهم الـ # ـجفاة الجلـف و الصحرا

فقيل مرقش أودى # و لم يعجز و قد قدرا

(Hawafi, tt. : 284)

Abu Nuwas senantiasa menyandarkan puisi-puisinya pada pola lama dalam puisi pujian (madah), elegi (ritsa) dan yang senafas dengan keduanya. Sementara itu ia terkadang masih memakai pola lama pada puisi gazal dan khomriyaatnya, dengan struktur dan deskripsi yang sangat menawan serta dibarengi emosi yang sangat menyentuh (Dloif, 1960 :163-164). Dalam kesempatan lainnya Dlaif juga memberi keterangan bahwa Abu Nuwas memang memiliki dua kecenderungan dalam menggubah puisi. Kecenderungan pertama adalah kenderungan mempertahankan konvensi yang lebih banyak terdapat pada madah, ritsa dan arajiznya. Sedangkan kecenderungan kedua adalah inovasi yakni pada hija, gazal dan khamriyatnya (Dlaif, 1966 : 227).

Dengan demikian inovasi yang dilakukan Abu Nuwas lebih banyak digunakannya dalam mengekspresikan hasrat-hasrat dalam pengertian yang negative sedangkan untuk hal-hal yang agak sesuai norma social ia lebih memilih mengikuti konvensi.

3. Abul ‘Ataahiyah

Nama lengkapnya Abul Atahiyah Ismail ibn al-Qasim ibn Suwaid ibn Kaisan. Ia dilahirkan di dekat kota Anbar pada tahun 130 H. Kehidupannya dapat dibagi dalam dua fase yang menandai transformasi spiritualnya. Fase pertama meliputi seluruh masa yang menampakkan dirinya sebagai pujangga yang penuh gejolak aura negative. Hal ini terekam dalam puisi-puisinya yang bertema gazal dan khamar seperti puisi di bawah ini :

لهفي على الزمن القصير # بين الخورنق و السدير

إذ نحن فى غرف الجنا # ن نعوم فى بحر السرور

فى فتية ملكوا عنا # ن الدهر أمثال الصقور

(Dlaif Tarikh, 1966 : 247)

Sedangkan fase kedua dalam transformasi kehidupan spiritualnya tercermin dalam puisi berikut ini :

إلهي لا تعذبني فإنني # مقر بالذي قد كان مني

و مالي حيلة إلا رجائ # لعفوك إن عفوت و حسن ظني

(Dlaif, 1966 : 251)

Puisi-puisi Abul ‘Atahahiyah ditandai dengan kemudahan pemilihan kata-kata dan ungkapan, sehingga terkadang mendekati ungkapan bahasa sehari-hari. Namun demikian kata-kata yang digunakannya tidak sampai pada kata ‘ajamiy hanya saja lebih dekat dengan bahasa khalayak. Pola inilah yang digunakan dalam membuat puisinya (Dloif, 1960 : 171-172).

Hal yang menarik berkaitan dengan kesan’ah-an Abul ‘Atahiyah adalah keberanianya untuk menentang Arudh yang telah dikemas Al-Khalil ibn Ahmad Al-Farahidi. Sebuah riwayat menceritakan suatu kali Abul Atahiyah pernah ditanya mengenai puisi-puisinya yang menyimpang dari paken arudh, ia menjawab Ana akbaru min al-‘arudh (saya lebih besar dari Arudh) (Hawafi, tt. : 253).

Epilog

Berdasarkan uraian di atas saya ingin memberikan benang merah berkaitan dengan gagasan san’ah yang dicetuskan Dlaif. Benang merah ini bukan berarti kesimpulan namun lebih tepatnya tinjauan terhadap semua hal yang tertera di atas.

  1. Pengkategorian mazhab puisi Arab menjadi san’ah, tasni’ dan tasannu’ sebagaimana diusulkan Dlaif merupakan hal baru yang dalam kajian puisi Arab dan dapat disebut sebagai pemakadam jalan bagi kajian mazhab puisi Arab yang genuin.
  2. Senada dengan Dlaif, Hawafi juga memberikan uraian yang mendukung uraian Dlaif meskipun tidak secara eksplisit menyebut pengarusan pemikirannya terhadap pemikiran Dlaif namun berdasarkan keterangannya ia banyak mengutip Dlaif.
  3. Kesan’ah-an penyair pada masa Bani Abbasiyah bukan lahir tanpa pendahulu namun demikian apa yang terjadi pada diri mereka merupakan wakil masanya sendiri dan memang belumpernah terjadi pada pendahulu mereka. Secara umum puisi Arab memang tidak mengalami pergeseran yang cukup signifikan berkaitan dengan bentuknya namun lebih banyak terjadi pergewseran pada isinya.
  4. Meskipun tidak banyak terjadi pergeseran bentuk namun paparan di atas merekam setidaknya terdapat juga pergeseran bentuk sebagaimana pola-pola seperti muzdawij, musammmat, urjuzah mulai digunakan sampai dengan yang paling jauh pernyataan Abul Atahiyah yang menentang pakem al-Khalil dengan perkataannya Ana akbaru min al-‘arudl

Daftar Pustaka

Dloif, Syauqi, al-Fann wa Mazaahibuh; Fii al-Syi’ri al-‘Arabiy, Daar al-Ma’aarif, 1960

--------------, at-Tathawwur wa at-Tajdid Fii al-Syi’ri al-‘Arabiy, Daar al-Ma’aarif,1952

--------------, Tarikh al-Adab al-Arabiy; al-Ashr al-Abbasiy al-Awwal, ,Daar al-Ma’aarif, cet. Ke-71966

Hawafi, Utsman, at-Tayyaaraat al-Ajnabiyyah Fii al-Syi’ri al-‘Arabiy; Muassasat ats-Tsaqafat al-Jaami’iyyah, Iskandariyah, tt.

Waluyo, Herman J., Teori dan Apresiasi Puisi,Erlangga, Jakarta, 1987



1 komentar:

  1. syukron wat info'a pak,,
    sangat bermanfaat:-)
    dtunggu kunjungan balik'a y,,
    amarfasyni.blogspot.com

    BalasHapus