Jumat, 13 Februari 2009

Sastra Islami: Memberi Keteladanan Tanpa Menggurui

SASTRA ISLAMI;

MEMBERI KETELADANAN TANPA BERKHOTBAH

Oleh : Fuad Munajat

Sering kita temui kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Semua kebenaran ideal hanya berada dalam pikiran kita, namun kenyataan menunjukkan kebalikan dari yang seharusnya.

Idealnya Indonesia menjadi negeri yang paling makmur, paling aman dan sekaligus paling maju. Alasannya jelas, karena agama Islam menjadi anutan mayoritas penduduk Indonesia. Kebalikannya juga ideal, ketika kita menyatakan seharusnya Indonesia tidak mencapai prestasi tertinggi di bidang korupsi, namun lagi-lagi kita menghadapi kontradiksi yang tidak berkesudahan.

Mungkin kita harus mengkreasikan cara baru yang lebih efektif daripada cara-cara konvensional yang selama ini digunakan para penganjur kebajikan. Salah satu alternative yang cukup baik, menurut saya, adalah menggalakkan sastra Islami. Kita tentu mengetahui bahwa seseorang akan lebih mudah menerima kebenaran kalau kebenaran tersebut dikemas dalam bentuk yang amat menarik.

Sebenernya sudah sejak dahulu cara tersebut digunakan, yakni pada saat walisanga menyebarkan Islam tanpa kekerasan dan menjadi begitu mengakar pada masyarakat dari berbagai lapisan. Mereka menggunakan seni, yang salah satunya adalah sastra. Mereka membuat tembang-tembang yang begitu akrab dengan tradisi lisan yang memang saat itu dominant.

Saya akan mengutip _secara bebas_ sebuah karya cerpenis terbaik Indonesia, AA Navis, yang mencoba mengkritik tingkah laku bangsa ini yang cenderung mengutamakan kesalehan individu ketimbang kesalihan social. Dalam karyanya yang monumental, Robohnya Surau Kami, AA Navis berkisah :

“Betapa tokoh Sholeh yang nota bene selalu berbuat kebajikan, taat beribadah bahkan senantiasa sholat tahajjud setiap malam, tiba-tiba terjegal jalannya menuju surga. Sholeh yang merasa diperlakukan tidak adil mengadakan protes keras dan menggalang demonstrasi sesama umat Islam yang mendapatkan nasib yang serupa. Pada akhirnya Sholeh dkk. berhasil menghadap Tuhan, lalu terjadilah dialog sebagai berikut :

Sholeh : Wahai Tuhan Kami Yang Maha Agung, segala puja dan puji bagi Engkau. Kami adalah penyembah dan pemujimu. Namun sudilah Tuhanku menjelaskan apa alasan kami dimasukkan ke dalam neraka-Mu.

Tuhan : Bukankah Kalian yang berasal dari Indonesia?

Sholeh : betul sekali Tuhan

Tuhan : Indonesia negeri yang kaya raya itu?

Sholeh : Tidak salah lagi Tuhan. Pasti Malaikat sudah salah memasukkan Kami, Sholehpun mulai berbinar.

Tuhan : Indonesia, negeri yang 3,5 abad dijajah Belanda itu?

Sholeh : Ya, tentu saja. Alangkah celaka sekali Londo keparat itu

Tuhan : Oya, kalian… tentu harus masuk neraka

Seketika Sholeh dkk. terkaget dan sambil mengusap peluh Sholeh berupaya terus mencari keadilan.

Sholeh : apa gerangan yang menyebabkan kami masuk neraka, wahai Tuhan kami?

Tuhan : Kalian kuanugerahi negeri yang subur tapi kalian tidak mampu mengelolanya. Kalian lebih mementingkan beribadah menyembahku karena kalian pikir Aku amat suka dipuji. Sementara kalian melupakan urusan dunia yang menyebabkan keturunan kalian lemah hingga dijajah. Kalian tidak patut mendapat surgaku. Masuklah ke neraka!

Jelas sekali pesan yang ingin disampaikan pengarangnya bahwa sebagai manusia kita harus mengupayakan keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Dengan media sastra seperti itu AA Navis berupaya mengingatkan kita tanpa harus menggurui. Melalui sastra yang memuat nilai-nilai islami kita disadarkan tanpa merasa canggung. Karena kehadiran sastra dapat muncul kapan dan di mana saja tanpa suasana formil dan kaku sebagaimana event-event keagamaan yang tengah marak saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar