Jumat, 13 Februari 2009

Metode Penentuan Teks Dasar Suntingan

Metode Penentuan Naskah Dasar Suntingan

dan Metode Penyuntingan Naskah

Oleh : Fuad Munajat

Pertama kali saya akan menjelaskan terlebih dahulu kedua istilah yang menjadi bagian dari judul yang digunakan. Kedua istilah yang saya maksud adalah “metode penentuan naskah dasar suntingan” dan “metode penyuntingan naskah”. Saya menggunakan istilah yang pertama untuk merujuk kepada metode yang digunakan dalam menetapkan sebuah atau sekelompok naskah yang menjadi dasar suntingan. Jadi bisa dikatakan metode yang pertama saya sebut tersebut merupakan metode pra-penyuntingan. Sementara metode terakhir merupakan metode yang digunakan pada saat tengah menyunting sebuah atau sekelompok naskah baik menjadi edisi kritis atau menjadi edisi diplomatis. Saya cenderung menyebutnya sebagai metode penyuntingan naskah saja.

Saya akan mencoba memaparkan beberapa informasi pada dua buku pegangan yang dijadikan perdoman pembahasan topik ini. Dua buku yang saya maksud adalah pertama buku berjudul Prinsip-prinsip Filologi Indonesia oleh S. O. Robson, dan kedua buku dengan judul Pengantar Teori Filologi yang disusun Siti Baroroh Baried dkk.. Keduanya memuat informasi mengenai metode yang digunakan dalam kajian filologis.

Robson dalam bukunya Prinsip-prinsip Filologi Indonesia menjelaskan metode penyuntingan dalam dua bab, bab IV; Metode Penyuntingan : Stemma, dan bab V; Metode penyuntingan : Diplomatis atau Kritis? Dalam bukunya tersebut nampak sekali Robson menggunakan istilah stemma secara eksplisit sebagai metode penyuntingan. Metode stemma sebagaimana dipaparkan Baried dkk., adalah metode obyektif yang sampai kepada silsilah naskah (Baried dkk., 1994 :67). Metode diplomatis serta Kritis bagi Robson menempati status sebagai mana posisi stemma. Dengan begitu bagi Robson stemma memiliki makna yang sangat luas tidak hanya metode penentuan naskah dasar tetapi juga memuat metode penyuntingan dalam pengertian rekonstruksi naskah.

Sementara dalam bab V, tentang metode diplomatis ataukah kritis, Robson, mengutip pendapat De Haan, menuliskan “Jika seseorang ingin memberikan contoh kepada pembacanya mengenai cara sebuah teks untuk dideklamasikan, diungkapkan dalam naskah yang dimaksudkan untuk itu, maka bentuk publikasi yang sesuai adalah jiplakan dan edisi diplomatic. Akan tetapi, jika seseorang ingin menerbitkan teks itu seperti fungsinya pada abad ke- 14 (abad-abad sebelumnya), maka ia harus memberikan kepada pembaca edisi kritis” (Robson, 1994 : 22).

Pada bab IV mengenai teori filologi dan penerapannya, khususnya pada sub-bab point B mengenai kritik teks, Baroroh Baried dkk. menyebutkan beberapa hal yang terkait dengan metode penelitian naskah. Di antaranya adalah item nomor 2 mengenai transliterasi yang diartikan sebagai penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari abjad satu ke abjad yang lain. Dijelaskan pula pada bagian tersebut bahwa transliterasi berguna untuk memperkenalkan teks-teks lama yang tertulis dengan huruf daerah karena ketidakakraban pembaca masa kini dengan aksara-aksara tersebut. Selanjutnya pada item nomor 3 dijelaskan tentang perbandingan teks dengan langkah-langkah sebagai berikut :

  1. Resensi, yakni membaca dan melakukan penilaian terhadap semua naskah yang ada.
  2. Eliminasi, yakni melakukan penyisihan teks kopi yang tidak relevan dengan tujuan penelitian.
  3. Eksaminasi, yakni pemeriksaan keaslian teks apakah terdapat hal-hal seperti korup, lacuna, maupun interpolasi. Perunutan keaslian teks dapat menggunakan pemeriksaan kecocokan metrum dalam teks puisi, kesesuaian dengan teks cerita, gaya bahasa, latar budaya, atau sejarah.

Sementara itu pada sub-bab C tentang metode penelitian, dijelaskan beberapa item yang berkaitan, namun saya menduga item-item ini bukanlah merupakan langkah-langkah penelitian yang disusun secara urut dikarenakan pada point ketiga dicantumkan nomenklatur ‘susunan tema’ padahal poin-poin sebelumnya menggunakan nomenklasi yang ‘agak tepat’ untuk disebut sebagai langkah penelitian. Secara utuh saya sampaikan poin-poin (Baried dkk., 1994 :65-70) tersebut di bawah ini :

  1. Pencatatan dan pengumpulan naskah
  2. Metode kritik teks, yang masih dibagi lagi ke dalam beberapa metode yakni metode intuitif, obyektif, gabungan, landasan, dan metode edisi naskah tunggal yang masih memiliki klasifikasi selanjutnya yaitu edisi standard an edisi kritik.
  3. Susunan stemma
  4. Rekonstruksi teks.

Perlu diperikan lebih lanjut mengenai metode kritik teks yang disebut di atas yang masih dibagi lagi ke dalam beberapa metode.

Pertama, intuitif yang seringkali disamakan dengan metode subyektif yakni dengan cara mengambil naskah yang dianggap paling tua. Di tempat-tempat yang dianggap tidak betul atau tidak jelas, naskah itu diperbaiki dengan memakai akal sehat,selera baik, dan pengetahuan luas.

Kedua, metode obyektif yakni penelitian sistematis mengenai perkerabatan naskah-naskah. Apabila dari sejumlah naskah ada beberapa naskah yang memiliki kesalahan yang sama pada tempat yang sama pula, maka dianggap berasal dari satu sumber (yang hilang). Sehingga terbentuk silsilah naskah. Sesudah itu baru dilakukan kritik teks. Metode obyektif yang sampai kepada silsilah naskah disebut metode stemma.

Ketiga, metode gabungan yakni apabila nilai naskah menurut penelitinya hamper sama. Umumnya dipilih bacaan mayoritas atas dasar perkiraan naskah lain sebagai saksi bacaan yang betul. Teks hasil suntingan merupakan teks baru yang merupakan gabungan bacaan dari semua naskah yang ada.

Keempat, metode landasan yakni peneliti memilih satu atau segolongan naskah yang unggul kualitasnya. Kemudian naskah tersebut dijadikan landasanatau induk teks.

Kelima, metode edisi naskah tunggal, yakni dengan dua cara edisi diplomatic dan edisi standar atau edisi kritik sebagaimana telah dibicarakan pada pembahasan Robson di atas (Baried dkk., 1994 : 66-68).

Saya beralih kembali kepada pembicaraan awal yakni mengenai metode penentuan naskah dasar dan metode penyuntingan yang memiliki karakter yang sangat berbeda dikarenakan tujuan yang akan dicapai juga berbeda sebagaimana penyebutan nomenklatur masing-masing metode. Namun demikian menjadi hal yang agak rumit ketika tidak ada satu referensipun yang secara eksplisit menyebutkan keduanya sebagai dua metode yang terpisah. Demikian halnya ketika saya melihat beberapa tesis dan disertasi yang membicarakan tentang metode penelitian naskah yang digunakan para penulisnya, mereka cenderung menjabarkan secara global dan terkesan menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang sudah mafhum dan tidak memerlukan penjelasan lebih jauh.

Berikut ini saya akan mengutip beberapa penjelasan yang saya temukan pada bab pendahuluan beberapa tesis dan disertasi dalam menjelaskan metode penelitiannya. Marsono mendeskripsikan metodenya dengan cara demikian :

Akhirnya, dengan melihat asal-usul naskah yang berasal dari tiga tradisi yang berbeda, perbandingan struktur puisi tembang melalui jumlah pupuh-pupuhnya, dan perbandingan inti ceritanya, naskah A, B, C, serta D dapat dikelompokkkan menjadi tiga. Isi teksnyapun juga dapat dibagi menjadi tiga versi. Kelompok yang pertama naskah A dan B. Kedua naskah C, dan ketiga naskah D. Naskah A kualitas bacaannya lebih baik daripada B, C, dan D. (Marsono, 1996 : 97).

Lain halnya dengan Sangidu pada Disertasinya Wachdatul Wujud dalam Maaul Chayaat Li Ahlil Mamaat menjelaskan sebagai berikut :

Maaul Chayaat sebagai salah satu karya sastra Melayu dapat dibaca melalui empat buah naskah salinannya, yaitu naskah A, B, C, dan D. dalam menghadapi keempat naskah tersebut maka yang pertama dilakukan adalah membandingkan keempat naskah dan menetapkan satu naskah unggul sebagai teks suntingan. Perbandingan terhadap keempat naskah tersebut memerlukan metode filologi yang sesuai dengan kondisi naskah dan terkenal dengan metode landasan atau induk (Legger).

Perbandingan empat buah naskah tersebut dilakukan dalam kaitan nya dengan kegiatan memilih naskah yang unggul. Setelah keempat naskah tersebut dibandingkan dari aspek bahasa, sastra, sejarah, dan lainnya, maka selanjutnya dimanfaatkan metode landasan (Sangidu, 2002 : 18-19).

Sudibyo dalam bagian pendahuluan tesisnya juga memberikan penjelasan mengenai metodenya sebagai berikut :

… Sehubungan dengan itu, agar teks HPJ (Pen. Hikayat Pandawa Jaya) dapat dibaca oleh masyarakat masa kini, teks itu terlebih dahulu perlu ditransliterasikan ke dalam aksara Latin. Pentransliterasiannya dilakukan dengan mengikuti prinsip metode penyuntingan kritis.

Sebagaimana disebutkan di muka, “kritik” berarti penyunting mengidentifikasi sendiri bagian-bagian dalam teks yang mungkin bermasalah serta menawarkan jalan keluar. Untuk itu, suntingan diterbitkan dengan membetulkan kesalahan-kesalahan, keajegan-keajegan yang terdapat dalam naskah, menerapkan pungtuasi, serta menetapkan standarisasi ejaan sesuai dengan system ejaan yang berlaku. Catatan-catatan yang timbul karena keinginan untuk menghilangkan hambatan-hambatan untuk pemahaman teks ditetapkan dalam aparat kritik (Sudibyo, 2001 : 26-27).

Saya melihat apa yang dipaparkan Marsono pada kutipan di atas merupakan pemaparan metode pra-penyuntingannya dengan proses-proses perbandingannya baik struktur maupun isi puisi. Kemudian ketika dia berhasil menentukan hubungan antra naskah-naskah yang diteliti dan menilai kualitas naskah A sebagai naskah terunggul berarti metode stemma tampak telah sukses digunakannya. Dalam hal ini sebenernya kutipan tersebut belum masuk pada proses penyuntingan dalam pengertian rekonstruksi naskah. Sementara itu dalam kutipan tesis Sangidu terdapat penjelasan adanya dua metode terangkum di sana. Lebih jauh Sudibyo menjelaskan secara eksplisit proses transliterasi dan upaya pembetulan teks dari kesalahan-kesalahan.

Penjelasan metode yang lebih sistematis saya temukan dalam disertasi Emuch Hermansoemantri (1979) yang memaparkan langkah penerapan metodenya sebagai berikut :

  1. Pengumpulan bahan, melalui studi perpustakaan dan studi lapangan. Studi perpustakaannya pun masih diperinci lagi dengan langkah-langkah yang secara eksplisit disebutkan mulai dari inventarisasi naskah, penilikan naskah sampai dengan pengumpulan naskah.
  2. Pentrankripsian naskah-naskah (terutama naskah primer)
  3. Penilaian (kritik teks), diperikan lagi menjadi a) pengamatan yang cermat terhadap naskah yang telah ditranskripsikan, b) Pembandingan antar naskah (kolasi), c) Pertimbangan naskah, terutama menimbang kualitas varian, kuantitas dan jenis korup, d) Penyimpulan dalam diagram silsilah

Penyusunan/ penetapan kembali naskah

Kesimpulan

Berdasarkan uraian sederhana di atas, saya mencoba mencari benang merah yang merupakan kesimpulan sementara.

1. Metode penentuan naskah dasar atau saya sebut metode pra-penyuntingan paling tidak mencakup proses-proses inventarisasi naskah-naskah, komparasi, penilaian atau dengan nomenklatur lain resensi, eliminasi dan eksaminasi.

2. Metode penyuntingan naskah yang merupakan tahap rekonstruksi naskah bisa dilaksanakan dengan mempertimbangkan sifat-sifat yang dimiliki masing-masing naskah yang dijadikan obyek. Jika naskahnya tunggal kemungkinan metode yang dapat diterapkan adalah edisi diplomatic dan edisi kritik. Namun jika naskah yang dihadapi lebih dari satu bahkan dalam banyak kesempatan berjumlah sangat banyak maka dapat dipergunakan metode-metode seperti landasan (legger), metode gabungan, dan metode obyektif.

3. Metode obyektif yang sampai kepada silsilah dan disebut juga metode stemma belakangan menuai banyak kritik khususnya dalam berhadapan dengan naskah-naskah nusantara yang berkarakter unik yakni penyalin sebagai pencipta kedua karena masih memahami bahasa naskah yag disalinnya sehingga selera penyalin tak dapat dihindari.

4. metode stemma merupakan trademark pendekatan histories yang memang booming pada abad ke-19. Sementara pendekatan yang berorientasi kepada pembaca dalam hal ini berkaitan dengan pendapat penyalin sebagai pembaca dan pencipta kedua mendapat perhatian lebih pada abad ke – 20.

Demikianlah uraian singkat yang dapat saya ketengahkan. Semoga ada manfaatnya.

Daftar Pustaka

  1. Siti Baroroh Baried dkk., Pengantar Teori Filologi, Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1994
  2. S. O. Robson, Prinsip-prinsip Filologi Indonesia, RUL, Jakarta, 1994
  3. Emuch Hermansoemantri, Sejarah Sukapura; Sebuah Telaah Filologis, Disertasi, Jakarta, 1979
  4. Marsono, Loka Jaya; Suntingan Teks, Terjemahan,Struktur Teks, Analisis Intertekstual dan Semiotik, Disertasi, Yogyakarta, 1996
  5. Sangidu, Wachdatul Wujuud dalam Maaul Chayaat Li Ahlil Mamaat, Disertasi, Yogyakarta, 2002
  6. Sudibyo, Hikayat Pandawa Jaya, Tesis, 2001

1 komentar:

  1. Pak.. mau tanya.. antara edisi kritis dan edisi diplomatik yang mana muncul terlebih dahulu? Jika munculnya kritis atau diplomatik apa alasannya? Sekian. Trima kasih

    BalasHapus