Jumat, 13 Februari 2009

Islam Indonesia: Sinergi Kiri dan Kanan

Islam Indonesia

Sinergi Kiri dan Kanan

Fuad Munajat

Pendahuluan

Kerap kali kita mendengar beberapa istilah yang disematkan pada Islam dan seakan-akan memberikan gambaran tertentu tentang Islam bahkan tidak jarang istilah-istilah tersebut justru membingungkan. Wacana tentang Islam memang berkembang sangat pesat sehingga memunculkan terma-terma yang acap kali menggugah kita untuk memikirkan kembali apa hakikat Islam dan mana Islam yang benar? Dari sana muncul beberapa terma seperti Islam Inklusif, Islam Emansipatoris, Islam Aktual, Islam Progresif, Islam Radikal, Islam Moderat, Islam Liberal, Islam Kanan, Islam Kiri dan lain sebagainya.

Dalam kesempatan kali ini saya ingin mengupas wacana Islam Kiri dan Kanan sebagai sebuah upaya mencari titik temu _meskipun upaya ini diibaratkan bagaikan menggantang asap_ atau paling tidak menemukan signifikansi keduanya guna menjadi salah satu solusi bagi perkembangan Islam di tanah air tercinta ini. Sebagaimana diketahui umum antara Kiri Islam maupun kanan Islam senantiasa terjadi semacam “perang urat saraf” di mana masing-masing kelompok berupaya memberikan pengaruhnya secara intensif melalui media-media dan jaringan organisasi yang dimilikinya.

Perang urat saraf ini tidak jarang berubah menjadi bentrok fisik manakala eskalasinya membubung naik dan melibatkan emosi dan sentimen yang justru dikait-kaitkan atas nama agama bahkan atas nama Tuhan. Suatu ketika sebuah kantor orgamisasi Islam tertentu diserang oleh sekelompok massa dari sebuah organisasi Islam lainnya dan hampir saja mengarah pada pembakaran kantor tersebut.

Belum lagi berbagai tindak kekerasan atas nama agama di sebagian besar Negara-negara Timur tengah _yang dampaknya juga terasa sampai Indonesia_ berupa gerakan terorisme yang walaupun tujuannya bisa jadi mulia namun cara-cara yang digunakannya kadang melukai bahkan meminta korban umat Islam sendiri. Puncaknya adalah tindakan kekerasan atas nama agama terhadap individu-individu sesama umat Islam sebagaimana diurai di muka dan mengambil bentuk lainnya seperti pengkafiran (takfir), penghalalan darah seseorang muslim, penyegelan dan pembakaran kantor secretariat secara sepihak dan lain sebagainya.

Sedangkan di pihak yang berseberangan terkadang kita juga melihat adanya upaya yang sistematis atau kalau boleh kita menggunakan istilah Grand Design, upaya-upaya dengan alur sebaliknya. Mereka dengan bersemangat menyebarkan paham-paham inklusifisme, pluralisme, emansipatorisme bahkan liberalisme yang terkadang dalam taraf tertentu menggoyahkan sisi-sisi keagamaan dan kemasyarakatan yang telah mapan. Mereka ini biasanya berasal dari kelompok muslim terdidik dan biasanya dimotori intelektual muda yang memiliki energi yang cukup memadai di samping limpahan dana yang juga melimpah dan diduga berasal dari sponsor-sponsor yang sengaja memback up lembaga-lembaga semisal ini.

Sebenarnya di tengah-tengah kedua kelompok tersebut terdapat satu kelompok lagi yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu kelompok di atas. Kelompok yang saya maksud justru jumlahnya merupakan mayoritas dan kedua kelompok yang saya sebut terdahulu justru mencerminkan dua sisi ektrim minoritas dari kelompok terbesar ini. Namun seiring dengan perjalanan waktu tampak bahwa kubu mayoritas tersebut semakin menggulirkan pendulumnya ke arah kanan. Saya tentu tidak akan terburu-buru berasumsi bahwa kelompok kanan sedang berbulan madu dengan pihak mayoritas.

Hal yang ingin saya lakukan adalah berupaya menjembatani kedua kelompok ekstrim tersebut sehingga menyurutkan anarkisme yang senantiasa berlaku bagi hubungan keduanya. Meski terlihat sangat sulit kalau tidak dikatakan mustahil namun upaya-upaya semacam ini tetap dibutuhkan dalam kerangka dialektika wacana keislaman sehingga wacananya tetap hidup dan mudah-mudahan suatu saat terjadi pemahaman hybrid yang terlahir dari dialektika tersebut.

Kiri dan Kanan dalam pertimbangan peristilahan

Kedua istilah baik kiri maupun kanan secara historis dapat dirunut kemunculannya pada bidang perpolitikan. Yahya Muhaimain dkk. (1985), menyatakan bahwa istilah kiri umumnya digunakan pada partai-partai sosialis atau sayap yang lebih ekstrim lagi. Sebutan ini bermula sewaktu di dalam parlemen Perancis wakil-wakil partai liberal (yakni partai yang cenderung menginginkan perubahan pada waktu itu) duduk di sebelah kiri ketua. Sejak itu dan selanjutnya kiri dikenakan pada partai-partai yang menghendaki perubahan dalam struktur Negara dan masyarakat.

Sementara itu Lorens Bagus (2000) juga memberikan keterangan tentang terma kiri sebagai gerakan protes yang dilancarkan oleh sebagian besar mahasiswa dan kaum cendikiawan di negara-negara Barat yang menentang masyarakat dan yang mereka tentang adalah lembaga-lembaga sosial, ekonomi dan politik, pandangan hidup, nilai-nilai moral dan cita-cita moral masyarakat. Gerakan ini tidak memiliki pedoman-pedoman ideologis yang sama atau program praktis. Mereka terdiri dari banyak kelompok dan orang yang datang dari berbagai latar belakang dan orientasi politis. Gerakan ini terdiri dari unsur-unsur pemberontakan spontan melawan kenyataan sosial. Tetapi ia tidak memiliki metode, cara dan alat efektif untuk mengubah kenyataan sosial itu secara praktis.

Sedangkan peristilahan kanan pada waktu dulu, dalam parlemen Perancis wakil-wakil partai konservatif menempati kursi-kursi di sebelah kanan ketua. Selanjutnya istilah kanan digunakan untuk menyebut golongan konservatif. Golongan komunis menyebarkan kesan bahwa kanan selalu berarti sikap mempertahankan yang usang atau kolot secara mati-matian dan merugikan kepentingan rakyat. Mereka suka mencap kanan pada golongan atau orang-orang yang tidak setuju atau memihak politik blok komunis atau bersikap konservatif dalam percaturan politik dalam negeri (Yahya Muhaimin, 1985 : 108-9).

Dalam pemikiran Islam wacana kiri pertama kali diusung oleh Hasan Hanafi, seorang intelektual Mesir, yang pernah menerbitkan jurnalnya al-yasar al-Islami (Kiri Islam). Syaukani _dalam sebuah perbincangan on air dengan sebuah radio swasta di Jakarta_ menyatakan bahwa inti pemikiran Hasan Hanafi adalah bahwa Islam is the liberation religion, Islam adalah agama yang membebaskan dan tekanan utamanya adalah pembebasan kaum Muslim dan kaum tertindas.

Namun demikian istilah Kiri yang saya gunakan akan sedikit berbeda dengan Hasan Hanafi dan nantinya disesuaikan dengan situasi Indonesia yang memang berbeda dengan gejala yang terjadi di belahan bumi lainnya. Perbedaan tersebut akan tampak pada saat penguraian wacana kiri Islam Hanafi dalam paragraf-paragraf selanjutnya meski harus saya tandaskan bahwa terdapat reduksi dan penyederhanaan dalam penggunaan kedua istilah kiri dan kanan pada kesempatan tulisan ini tidak dapat dihindarkan.

Menurut Thoriqul Haq istilah kiri Islam yang dimotori Hasan Hanafi merupakan suatu upaya menggali pendasaran ontologis-religius makna revolusioner dari Islam. Sebagai konsekuensi logis dari keberpihakannya kepada umat yang lemah dan tertindas. Sebagaimana dipraktekkan oleh para nabi dan rasul sebagai duta Ilahi dalam kehidupan rakyat pada zamannya.

Istilah kiri dalam terminologi Islam yang dimunculkan Hasan Hanafi tersebut merupakan pendekatan epistemologis-religius bukan ideologis (dalam pengertian negatif). Makna kiri dalam pengertian ini merupakan sebuah gerakan revolusi moral -Moral Revolution Govement- untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaum tertindas, sehingga persamaan (egalitarian) dan keadilan umat manusia sejajar satu sama lainnya.

Dengan demikian, kiri merupakan kritisisme religius – nantinya menjadi sosialisme religiusnya Hasan Hanafi – dalam persoalan sosial ekonomi yang berpangkal dari tataran normatif ke pro-aksi, dalam istilah terminologi Hasan Hanafi disebut min al-aqidah ila al-thawrah. Karena itu, secara universal maksud konsep ini adalah untuk membangun kerajaan – surga - Tuhan di bumi ini.

Dalam pengkajiannya terhadap tradisi Islam, Hasan Hanafi dengan kiri Islamnya berkesimpulan bahwa sumber krisis dunia Islam sekarang ini adalah akibat dari tradisi Islam kanan. Jika yang dimaksud kiri adalah resistensi atau perlawanan dan kritisisme, maka kanan berarti kooptasi, pembela status quo dan mengaburkan atau menyamakan antara realitas dan identitas. Dalam konteks ini, yang dianggap termasuk tradisi Islam kanan adalah teologi Asy’ariyah, filsafat iluminasi – emanasi Ibnu Sina dan al-Farabi, Fiqh Normatif Hanafiyah, Tafsir tekstual dan sejarah penindasan yang dilakukan Muawiyah, Yazid dan Bani Umayah lainnya.
Untuk itu dalam mengatasi krisis umat, diperlukan upaya rekonstruksi, pengembangan dan pemurnian tradisi Islam yang berakar pada tradisi Islam kiri, yang oleh Hasan Hanafi dikatakan sebagai berakar pada dimensi revolusioner khazanah intelektual. Dalam konteks ini, yang termasuk tradisi Islam kiri atau revolusioner adalah teologi mu’tazilah, filsafat rasionalisme naturalistik Ibnu Rusyd, prinsip masalah al-mursalah fiqh Maliki, tafsir rasional, kelompok Ali dan Hussein dalam peristiwa fitnah al-kubra.

Hassan Hanafi berusaha memperkuat umat Islam dengan memperkokoh tradisinya sendiri. Karena itu, tugas kiri Islam: pertama, melokalisasi Barat pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos dunia Barat sebagai pusat peradaban dunia serta menepis ambisi kebudayaan Barat untuk menjadi paradigma – dalam makna Kuhn atau Hegemoni dalam pengertian Gramsci – kemajuan bagi bangsa-bangsa lain. Kedua, mengembalikan peradaban Barat pada batas-batas ke-baratan-nya, asal-usulnya, kesesuaian dengan background sejarahnya, agar mereka sadar bahwa terdapat banyak peradaban dan banyak jalan menuju jalan kemajuan. Ketiga, Hasan Hanafi menawarkan suatu ilmu untuk menjadikan Barat sebagai obyek kajian, yakni sebagaimana dia menulis dalam muqaddiamah fi al-istighrab (introduction to oksidentalisme) (Kazuo Shimogaki, 1993 :12).

Tampak dari uraian sebelum ini bahwa yang dimaksud Hasan Hanafi sebagai Kiri Islam meliputi area yang luas sekali dan terkesan sebagai suatu upaya untuk menandingi kedikjayaan Barat dengan cara oksidantalisme yang diartikan sebagai lawan dari orientalisme. Memang betul pijakan utamanya adalah keterpurukan kaum muslimin masa kini namun Hasan Hanafi lebih memilih alasan hegemoni Barat .ketimbang faktor internal umat Islam sendiri. Di sinilah letak perbedaan Kiri yang saya maksudkan dengan konsepsi Hasan Hanafi.

Bagi saya istilah kiri dan kanan yang mencerminkan umat Islam khususnya dalam wacana keindonesiaan lebih dekat _untuk saat ini_ pada diskursus liberal versus konservatif sebagaimana dalam pengertiannya dalam kancah perpolitikan. Saya tidak menafikan mata air utama wacana Kiri Islam berasal dari pemikiran Hasan Hanafi pada dekade 1980-an dan untuk pertama kali karya maupun komentar pemikirannya diterbitkan melalui penerjemahan oleh penerbit LKiS pada awal dekade 1990-an. Namun perkembangan yang terjadi di Indonesia memperlihatkan polarisasi ke arah liberal versus konservatif sebagaimana tersebut di atas. Mungkin ini hanya generalisasi yang salah kaprah atau apapun istilahnya namun dalam ilmu bahasa diakui adanya gejala seperti itu yakni sebuah konsep kata bisa saja mengalami perluasan maupun penyempitan makna sesuai dengan perubahan masa.

Karakter Kiri dan Kanan Islam di Indonesia

Apa yang diungkapkan Syaukani terkait dengan pernyataannya bahwa “sebuah gejala senantiasa muncul jauh mendahului konsepsi yang digunakan untuk memperistilahkannya”, sangat tepat terutama jika dikaitkan dalam pembicaraan kiri dan kanan Islam di Indonesia. Dengan demikian istilah kiri dan kanan merupakan terma baru untuk memotret gejala yang sebenarnya telah lama hadir dalam kehidupan keagamaan dan kemasyarakan muslim Indonesia.

Adapun penyederhanaan kiri-kanan Islam menjadi liberal-konservatif Islam bukanlah reduksi yang tanpa ambigu. Keambiguan tersebut disebabkan posisi umat Islam sendiri dalam percaturan baik politik maupun non-politik yang lebih banyak berada pada barisan terpinggirkan. Dengan posisi yang terpinggirkan seperti itu bukankah sangat bertolak belakang dengan penyematan terma konservatif yang justru memuat pemahaman mempertahankan kemapanan. Keambiguan ini sebenarnya bisa dicairkan manakala kita tidak menariknya pada ranah politik sebagaimana asal kiri-kanan berasal namun lebih pada domain pemahaman keagamaan yang perwujudannya bisa dalam segi apapun termasuk politik.

Dengan mengambil ranah keagamaan atau tepatnya paham keagamaan kita akan dengan mudah meskipun harus berhati-hati mengelompokkan aktifitas-aktifitas baik formal maupun non-formal yang dapat memenuhi kategorisasi keduanya kiri dan kanan. Penyebutan karakter pengisi kategori kiri dan kanan lebih penting ketimbang harus menyebutkan nama organisasi-organisasi pengusungnya. Paling tidak ada beberapa karakter yang dapat diajukan sebagai penjelas dari kedua kelompok tersebut yakni sebagaimana diuraikan Agus Muhammad (saya menambahkan karakter kiri karena Agus hanya menguraikan karakter kanan) :

NO

KARAKTER KIRI

KARAKTER KANAN

1

Pemahaman yang kontekstual bahkan tidak jarang menggunakan pendekatan hermeunetika yang selama ini berkembang untuk tafsir bibel

pemahaman yang sangat literal terhadap ajaran Islam

2

Islam merupakan konstruksi historis bahkan dalam pandangan ekstrim mereka al-Quran adalah produk budaya

keyakinan yang sangat kuat bahwa Islam adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan berbagai krisis di negeri ini

3

Negara boleh berbentuk apa saja yang penting nilai Islam dapat ditegakkan

perjuangan yang tak kenal lelah menegakkan syariat Islam

4

Bersikap pluralis bahkan dalam pemahaman keagamaan menganut wihdatul adyan

resistensi terhadap kelompok yang berbeda pemahaman dan keyakinan,

5

Menolak Barat dengan konsep oksidentalismenya (sebenarnya tidak menolak)

penolakan dan kebencian yang nyaris tanpa cadangan terhadap segala sesuatu yang berbau Barat

Karakter di atas bukan berarti karakter mutlak bagi masing-masing kelompok. Sejarah membuktikan bahwa tidak seorang ulamapun dalam satu aliran atau mazhab yang memiliki pandangan identik dengan ulama lainnya. Bagan di atas lebih mencerminkan orientasi secara garis besar dan bisa jadi antara karakter kiri dan kanan bersatu pada diri seseorang.

Apalagi bila kita melihat perkembangan terakhir yang berbeda dari perkembangan sebelum dasawarsa 1990-an yakni adanya kenyataan bahwa mereka yang berpaham liberal justru berasal dari lingkungan santri yang pada masa pendidikan awalnya sangat tradisional (uraian yang lengkap tentang hal tersebut dapat dibaca pada M. Syafii Anwar, 1995 : 109-142 yakni pada bab mengenai munculnya kelas menengah santri baru). Sebelum dasawarsa 1990-an mereka yang berpaham liberal kebanyakan berasal dari pesantren yang moderen. Lebih menyolok lagi bila kita melihat mereka yang berpaham kanan_sebagaimana dalam diskusi mingguan_semakin banyak yang berasal dari lingkungan perguruan tinggi umum dan lebih khusus lagi gejala menguat pada fakultas-fakultas eksakta.

Peranan konteks global terhadap kiri-kanan Islam Indonesia

Iran dan Mesir adalah dua negara yang dianggap paling inspiratif dalam melahirkan Islam kanan di negara-negara lain meskipun dalam kacamata Hassan Hanafi justru Revolusi Islam Iran justru merupakan inspirasinya memunculkan kiri Islamnya. Fenomena revolusi Islam Iran 1979 dianggap banyak pengamat sebagai salah satu bentuk radikalisme Islam yang kemudian mengilhami kaum Muslim di banyak negara melakukan hal serupa. Sementara itu, di Mesir lahirnya al-Ikhwan al-Muslimun yang dibidani oleh Syaikh Hasan Al-Banna (1906-1949) pada April 1928 mengalami perkembangan pesat yang ditandai oleh tersebarnya organisasi ini di kurang lebih 70 negara, tidak hanya di Timur Tengah tapi juga di wilayah lain.

Ada satu benang merah yang dapat ditangkap dari maraknya radikalisme yang cenderung berpaham kanan di dunia Islam, yakni respons atas makin kuatnya dominasi dan hegemoni Barat di dunia Islam. Pada awalnya fundamentalisme Islam muncul sebagai gerakan pemikiran untuk mendefinisikan Islam sebagai sistem politik, mengikuti ideologi-ideologi besar abad ke-20. Mereka berusaha menandingi—dan kalau bisa menggantikan—ideologi-ideologi besar yang berkembang saat itu. Namun, seiring dengan semakin kuatnya hegemoni dan dominasi Barat, gerakan Islam kemudian mengambil wujud baru yang disebut sebagai neofundamentalisme yang mencoba memperjuangkan syariat Islam dan melupakan Islam sebagai ideologi politik.

Menurut Mark Juergensmeyer (dalam Agus Muhammad), radikalisme dalam Islam muncul karena kegagalan nasionalisme sekuler yang dianggap tak mampu mengakomodasi aspirasi kalangan agamawan. Kalangan Islam radikal, menurut Juergensmeyer, tidak menolak modernitas dalam arti ilmu pengetahuan atau teknologi, tetapi mereka tidak bisa menerima ideologi di balik itu: sekularisme dan materialisme.

Penolakan terhadap sekularisme menguat karena sistem itu tak memberi tempat bagi ajaran Islam, terpinggirkannya kaum Muslim, serta kian parahnya krisis yang melanda dunia Islam. Celakanya, ideologi sekuler itu justru semakin kuat pengaruhnya di dunia Islam.

Meluasnya Islam radikal di dunia Islam tentu saja membuat Amerika khawatir dan ketakutan. Peristiwa peledakan WTC dan Pentagon (11/9) jelas-jelas membuat Amerika terperangah. Tidak tanggung-tanggung, Amerika menabuh genderang perang melawan terorisme yang diyakini sebagai hasil perbuatan Islam radikal dengan tokoh utamanya Osama bin Laden. Namun, sikap Amerika yang secara terbuka menyatakan perang terhadap kelompok Islam radikal sebetulnya bukan representasi dari seluruh kebijakan Amerika secara umum. Soalnya, baru pada pemerintahan Bush (yunior), Amerika menyatakan perang secara terbuka terhadap Islam radikal.

Adapun kelompok kiri sebagaimana telah banyak disitir sebelumnya juga berasal dari reaksi terhadap hegemoni Barat namun dalam bentuknya yang lebih bersifat intelektualis yang terpolar pada gerakan oksidentalisme. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Kiri Islam sebenarnya lebih tersuburkan akibat pupuk teologi pembebasan yang marak di Amerika Latin sebagai bagian benua yang sangat resisten terhadap hegemoni Amerika.

Paham kiri Islam dalam pengertian Islam Liberal lahir dari tokoh-tokoh yang sebagian besar pernah merasakan studi di Eropa atau Amerika, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Ashgar Ali Engineer, Ali syariati pernah mengenyam studi di Eropa. Demikian halnya dengan Harun Nasution, Nurcholis Madjid, belakangan Ulil Absar Abdalla juga pernah dan sedang studi di Eropa dan Amerika. Dengan kenyataan demikian sebetulmya kita dapat menganalogikan eksistensi mereka dengan kaum Muktazilah yang hidup pada masa Daulat Bani Abbasiyah, masa keemasan Islam.

Keberadaan kaum Muktazilah sangat membantu kemajuan Islam karena mereka merupakan sekelompok dari kaum muslimin yang sangat mengutamakan pemikiran rasional (Engineer, 1993 : 73). Lenyapnya kaum Muktazilah dari peta keilmuan Islam merupakan kerugian yang paling besar yang diderita umat Islam. Setuju atau tidak hilangnya Muktazilah menandai runtuhnya peradaban Islam ke titik nadir. Tentu saja Muktazilah bukan tanpa cacat _mana ada gading yang tak retak_ karena ektrimitas mereka justru merupakan awal petaka bagi mereka. Mereka pernah mengusung inkuisisi _meski masih bisa diperdebatkan lebih jauh kebenarannya, namun sangat mungkin terjadi_ yang menimbulkan perlawanan yang sangat merugikan eksistensi kaum Muktazilah.

Dengan demikian konteks global baik terhadap kiri maupun kanan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pahan kiri-kanan Islam Indonesia. Apalagi dengan adanya globalisasi di mana informasi di belahan dunia lainnya seperti kepedihan rakyat Palestina, minoritas muslim Eropa, minoritas muslim Tailand dan Filipina dapat disaksikan dan dirasakan pada saat bersamaan. Di lain sisi Barat sebagai pemegang ilmu pengetahuan dan teknologi bahkan kendali peradaban secara umum memiliki kepentingan terus menerus untuk mempertahankan dan menggelontorkan dana yang luar biasa besarnya bagi penyebar luasan paham yang lunak terhadap Barat. Dari sinilah muncul silang sengketa antara kelompok kiri dan kanan di mana kelompok kanan seringkali menuduh kelompok liberal (kiri) sebagai antek-antek Barat.

Upaya menjembatani Kiri dan Kanan Islam Indonesia

Kita tentu tidak menghendaki adanya pertentangan anatara kedua kelompok_ yang bagi saya keduanya minoritas_ dan mengakibatkan kerugian yang sudah pasti diderita oleh umat Islam. Saya juga tidak setuju meskipun tidak bisa lepas dari konsepsi mayoritas-minoritas di satu sisi dan pada sisi lain antara konsep kiri-kanan-dan tengah.

Khusus untuk istilah tengah yang dalam hal ini identik dengan kelompok mayoritas saya enggan menggunakannya karena akan semakin mengkotak-kotakan umat Islam. Dalam pandangan saya umat Islam sebenarnya laksana satu tubuh, ada kepala, tangan, punggung, badan, kaki dan seterusnya. Apakah kepala lebih penting dari tangan? Atau apakah kaki lebih berguna dari badan? Bagi saya semua itu sama penting meskipun dengan fungsi yang berbeda-beda.

Pembagian menjadi kanan-kiri-tengah, mayoritas-minoritas hanyalah untuk kepentingan analisa semata. Namun penyebutan-penyebutan demikian kadang digunakan lebih dari yang semestinya. Sehingga terbentuklah kotak-kotak yang sangat reduktif dan pada tahapan yang paling mengkhawatirkan adalah upaya pengkafiran yang tentu saja sudah banyak memekan korban. Di lain pihak pemerintah juga tidak mesti mengikuti kehendak kekuatan luar apalagi Negara hegemon yang senantiasa mudah mencap seseorang sebagai teroris dan menjadikannya jastifikasi bagi tindak kekerasan terhadap mereka.

Secara sederhana saya mengajukan beberapa usulan untuk mengurangi ketegangan yang selama senantiasa terjadi antara kelompok-kelompok tersebut :

  1. Harus dibuka ruang dialog yang terus menerus namun bukan diniatkan untuk saling menjatuhkan. Hal ini penting karena fenomena saling menjatuhkan sudah sangat sering terjadi. Di Jakarta ada sebuah Yayasan yang sering mengadakan dialog bukan hanya antara Islam Kiri dan Kanan tetapi antara Islam dan Kristen, namanya lembaga Arimatea. Namun kesempatan yang sangat berguna tersebut terkadang tidak dilakukan untuk hal yang konstruktif. Mereka dengan bangga menyebarkan VCD yang menurut mereka menggambarkan kemenangan Islam versi mereka.
  2. Jangan ada klaim Islam sebagai keyakinan yang fragmentaris atau sudah final atau berpikir liberal tanpa mempertimbangkan muatan lokal Islam Indonesia.
  3. Pemerintah hendaknya membuka akses pendidikan bagi bangsa ini secara terbuka karena dengan media pendidikan semakin lama kesadaran masing-masing individu akan semakin baik.
  4. Dalam menghadapi pertikaian antara kelompok atau dalam banyak hal secara tidak langsung pemerintah harus bersikap netral. Selama ini kedua kelompok ini selalu menjadi korban dari ketidakbijakan pemerintah dikarenakan pemerintah _terkadang dalam urusan keagamaan_berkiblat pada satu paham tertentu. Bahtiar Effendy (1998) menggunakan idealitas tersebut dengan istilah hubungan integrative antara Islam dan Negara.
  5. Para ulama semestinya tidak hanya berada pada tataran praksis meskipun ini sangat penting. Lebih dari itu ulama juga harus masuk ke dalam belantara akademik karena domain ini sangat berguna dalam melahirkan fatwa-fatwa yang tidak merugikan kelompok manapun.

Pada akhirnya saya ingin menuliskan sebuah puisi yang dengan padat menganalogikan gagasan saya mengenai wacana kiri dan kanan Islam Indonesia sebagai berikut :

Islamku Tubuhku

Tubuhku adalah Islamku

Ia adalah Kepala

Ia badanku

Tangan juga

Kedua Kakiku pun begitu

Ia bukan semata otak, tetapi otak kanan dan kiri

Ia bukan semata tangan, tetapi tangan kanan dan kiri

Ia bukan semata ginjal, tetapi ginjal kanan dan kiri

Ia bukan semata mata, tetapi mata-mata indahku

Persetan kiri atau kanan

Aku membutuhkannya

Sama halnya tulang dan darahku

Badan dan ruhku

Untuk apa aku mengingkari salah satu

Aku adalah kanan dan kiriku

Islamku pun begitu

Islam yang sempurna

//Menurutku//

Daftar Pustaka

Adian Hussaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal, Gema Insani Press, Jakarta, 2002

Agus Muhammad, Islam, Radikalisme, dan Politik Global , dalam www.kompas.com/kompas-cetak/0604/01/Bentara/2517053.htm - 49k -

Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, LKiS, Yogyakarta, 1993

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Paramadina, Jakarta, 1998

Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme; Telaah atas Pemikiran Hassan Hanafi, LKiS, Yogyakarta, 1993

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000

Luthfi Assyaukanie, Akar-akar Liberalisme di Dalam Islam, (wawancara Forum Freedom 36, Jakarta, 23 Januari 2006, Radio 68 H, pewawancara Hamid Basyaib) dalam www.assyaukanie.com/interviews/islam-dan-liberalisme-di-indonesia - 32k -

M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1995

Thoriqul Haq, Kiri Islam dan Ideologi Kaum Tertindas dalam www.kommpak.com/index.php/12/05/2007/kiri-islam-dan-ideologi-kaum-tertindas/ - 30k –

Yahya Muhaimin dkk., Kamus Istilah Politik, Depdikbud, Jakarta, 1985

Tidak ada komentar:

Posting Komentar