Jumat, 13 Februari 2009

Cerpenku

Musafir Kelana

Oleh : Fuad Munajat

Entah sudah berapa bulan kutinggalkan negeri yang pernah memberikan Aku manisnya masa remaja. Kepergianku saat itu bukan untuk menjemput kebahagiaan yang menyembulkan wajahnya dari atap langit harapan. Namun justru mengubur semua kenangan yang senantiasa mengejar-ngejarku di pagi hari, siang terik, gelap malam bahkan sampai mimpiku. Kenangan pilu sesaat kebahagian akan hadir di depan mata. Sewaktu semua orang menjunjung suka dan mengenyahkan duka jauh-jauh dalam pusara bawah sadar mereka. Sesaat sebelum pelaminan terhampar, sebuah kabar dibawa Gagak hitam dari dahan pohon jati nan tinggi. Aku tersurut. Kemana sang Merpati yang biasa menghampiri? Bukankah dia yang selama ini menjadi penyambung hatiku dengan kasih pujaanku. Adakah sakit yang menyertainya? Atau sudah bosankah ia mengantar kebahagiaanku? Gagak tergagap tak bisa menjawab. Dipalingkannya kedua sayapnya isyarat akan pergi. Aku menahan sejadi-jadi. Berharap ia berbaik hati. Memberi senyum meski sekali. Selayaknya yang senantiasa dilakukan sang merpati. Gagak tegak tak berubah mimik, ia menggumam berkali-kali, bersungut-sungut sejadi-jadi, aku tak kuasa menyampaikan ini, tokh Merpati sang penerang hati pun surut enggan kemari. Hanya aku yang dicaci karena setiap datang pastilah sedih, ya berita sedih. Tunanganmu pergi tadi malam dengan kekasih hati. Aku meradang “Aku lah kekasih hatinya”, “Akulah belahan jantungnya”, “Aku lah puncak harapannya”, “Aku….. Aku…..Aku…telah dikecewakannya.”

Aku berangkat ke tanah suci bukan untuk menjalankan ritual suci. Setelah pengurusan segala persyaratan aku dipersilahkan menaiki pesawat Garuda. Tiba-tiba saja sang Garuda menegurku seakan tahu apa tujuan kepergiaanku. “Kamu tidak akan menjumpai pujaan hatimu di tanah suci”. “Tanah itu hanya untuk jiwa-jiwa berhati bersih. Bukan kotor seperti milikmu”, begitu kira-kira dia memulai pembicaraannya. Aku tak hiraukan ocehannya yang bernada mengejekku. Dia terus menerus melemparkan kecamannya, menyudutkan aku hingga ke sudut ruangan. Aku tak tahan lagi. Ku hardik dia supaya berhenti, umpat caci tak ada arti bagi jiwa yang telah hancur. Bagai mayat yang tak rasa perih walau pedang menusuk-nusuk ulu hati. Percuma saja kau tusuk hatiku. Kendalikan saja kemudimu. Berperang denganku, walaupun menang, kau bukan bak pahlawan, pahlawan hanya untuk kemenangan dengan lawan sama imbang.

Dari kejauhan kulihat negeri suci. Aku tak tahu kenapa banyak orang bilang ia suci. Adakah setiap orang di sini suci-suci, mungkinkah musafir yang datang ke sini menjadi suci setelah tinggal beberapa hari. Aku berharap demikian. Aku ingin kesucian menyucikan jiwa yang larut dalam kegamangan tak bertepi. Aku berharap ini akan jadi perjalanan yang tak sia-sia. Atau kalau mungkin kutemukan belahan jiwa.

Saudi terkenal karena kesuciannya. Padanya tegak bangunan yang amat kuat. Kuat karena sudah berusia ribuan tahun. Tegap karena berbentuk kubus. Berbadan batu, berselendang hitam. Kesuciannya terkenal ke seluruh penjuru dunia, bahkan berabad-abad lalu nenek moyangku telah menginjakkan kakinya di sini, untuk mereguk kesucian. Tanah suci, air zam-zam suci, rumah suci, masjid suci seolah tak ada nila setitikpun di negeri ini. Aku terharu. Bilakah kesucian itu menggamit tubuhku yang nista? Tiba-tiba aku dikejutkan kepakkan Elang Arab. Negeri-negeri Arab memang senantiasa disimbol dengan Elang-elangnya. Shaqr kata mereka. Aku jadi ingat pahlawan Bani Umayyah yang dengan gagah merambah Andalusia meski dikejar prajurit Bani Abbasiyah. Ksatria itu berhasil lolos dari maut bahkan mendirikan imperium Islam terbesar di Eropa, ya Aku ingat dia adalah Abdurrahman Ad-Dakhil yang dijuluki elang Quraisy (Shaqru Quraisy).

Kebasan sayap sang Elang untuk kesekian kalinya menyadarkanku. Aku terpana dengan elang itu. Wajahnya laksana Garuda yang menghantarkanku dari Cengkareng sampai ke Jeddah. Namun apakah dia saudara kandungnya? Kembarannya? Atau hanya mirip doang! Sejenak dia perkenalkan dirinya. Dengan bangga dia berucap negerinya adalah negeri besar. Kerajaannya sangat kaya raya. Di sini tidak ada orang miskin, kere, atau gelandangan. Anda masuk dalam kategori mana? Miskin, kere, atau yang ketiga? Kuberitahu ya…, cerocos Elang yang tak memberiku kesempatan bicara, bahwa penginapan di sini mahal-mahal. Makanan pun mahal-mahal. Apalagi gadis-gadisnya… ha…ha….ha…, sampai rambutmu penuh mutira putih kau tak akan mendapatkannya, ha…ha…ha… Elang itu seakan tahu segala isi hatiku, seluruh aliran darahku disumbatnya, nadi-nadiku pun sekejap membeku, tak ada ruang tuk berpikir jernih karena otakku sudah dijajahnya.

Kuteriak keras-keras. Aku jemu dengan segala perkataan-nya, dengan segala ejekannya, ejekan Elang dan saudara-saudaranya, Garuda, Gagak dan merpati. Aku berserapah mengumbar dendam. Dendam kepada pujaan hati yang membuatku patah hati, melemparkanku ke hamparan gurun pasir, kukira ada kesejukan, kesucian, ternyata hanya fatamorgana. Burung-burung itu pun sekonyong-konyong terbang di atas kepalaku. Dan terbangnya semakin riuh rendah, mendarat tepat di hadapanku. Dengan tulus mereka berujar, wahai musafir kelana sang pencari kesejukkan dan kesucian! Ketahuilah kesejukkan dan kesucian tidak akan kau temukan di mana pun, karena sesungguhnya ia ada di dekatmu, sangat dekat bahkan ia lebih dekat dari urat nadimu, carilah ia dalam dadamu, dalam ruh dan jiwamu, temukan dia kawanku! Selama burung masih berkicau, kau masih punya kesempatan!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar