Jumat, 13 Februari 2009

Artikel

ASAL MULA KONFLIK ARAB –ISRAEL

Oleh : Fuad Munajat[*]

Masalah Palestina merupakan salah satu problem yang sudah sekian lama berlangsung dan hingga kini belum mencapai titik penyelesaian yang tuntas. Rumitnya permasalahan tersebut disebabkan banyaknya pihak yang terlibat di dalamnya di samping masalah geografis Palestina yang meliputi monumen bersejarah tiga agama besar dunia Yahudi, Kristen dan Islam. Hal ini tentunya menyeret sisi emosional yang tidak terukur dalamnya.

Tulisan berikut tidak akan mengkafer semua permasalahan yang sudah tersebut di atas melainkan terbatas hanya pada asal mula konflik Arab Israel sebagai mana judul tulisan ini. Pengetahuan akan asal mula konflik Arab Israel sangat penting dalam rangka memahami konstelasi Negara-negara Timur Tengah dalam percaturan politik dan pergaulan internasional.

Di antara konflik-konflik yang mendominasi kancah sejarah abad ke-20 konflik Arab-Israel menduduki posisi yang spesial. Konflik lainnya terkadang sama kerasnya, namun sedikit di antaranya yang senantiasa melibatkan perang dalam skala besar dan memilukan sebagai mana konflik Arab-Israel (Harvey Sicherman, 1993 : 1).

Secara sederhana kita dapat menemukan bibit konflik Arab Israel pada keinginan orang Yahudi memiliki sebuah Negara setelah mengalami sekian lama hidup berdiaspora (tercerai berai). Keinginan tersebut mengerucut dalam sebuah ideology zionisme yang muncul pada akhir abad ke-19 (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 208). Akibatnya mudah ditebak yakni adanya pergesekan antara dua bangsa yang menginginkan satu wilayah One Land, Two People. Masing-masing mengaku sebagai pihak yang paling berhak atas tanah itu. Implikasinya masing-masing berupaya meraih apa yang diakui sebagai milik kelompoknya (M. Riza Sihbudi dkk., 1993 : 42). Meski antagonisme kedua belah pihak dapat dirunut sejak masa lampau, namun konflik Arab-Israel sebagaimana kita kenal praktis baru berumur seratus tahun (Harvey Sicherman, 1993 : 2).

ZIONISME

Zionisme sebagaimana kita temukan dalam penggunaan masa kini sebenarnya telah mengalami metamorfosa makna dari makna harfiah seperti terekam dalam kitab Mazmur hingga makna modernnya sebagaimana dipahami sekarang (Jakob Katz dkk., 1997 : 19). Dalam Mazmur terdapat keterangan sebagai berikut :

Di tepi sungai-sungai Babylon

Di sana kita duduk sambil menangis

Ketika kita teringat Zion (Mazmur 137 : 1)

Zionisme dalam batasan etimologi merujuk kepada kata Zion yang merupakan nama bukit tempat kompleks ibadah Yahudi di kota Yerussalem (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 6, 2002 : 22). Sedangkan secara terminologis zionisme pada hakikatnya tidak lain adalah cita-cita dan gerakan orang-orang Yahudi untuk mendirikan Negara bagi orang Yahudi di Palestina yang mereka anggap sebagai tanah leluhur mereka atau tanah yang dijanjikan (the Promised Land) (BPPMLN-Deplu, 1976 :5).

Gagasan zionisme dipengaruhi pandangan nasionalisme Eropa yang pada intinya berorientasi pada pendasaran Negara berasakan suatu bangsa tertentu (BPP-Deplu, 1986 :2). Pada bangsa Jerman muncul ekstremitas bangsa Arya sebagai bangsa terunggul, sedangkan pada bangsa Yahudi juga berlaku ekstremitas tersebut melalui pandangan Moses Hess tantang keberadaan bangsa Yahudi sebagai bangsa yang ditakdirkan merubah dunia dan merupakan history making people dan mempunyai kelebihan dibandingkan dengan orang Yunani dan Kristen (BPP-Deplu, 1986 : 3).

Gerakan zionisme juga merupakan reaksi terhadap gerakan anti ras Semit (Yahudi dan Arab) yang muncul di Eropa (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 208). Adian Husaini memiliki pembahasan yang cukup panjang lebar mengenai hal tersebut (Lih. Adian Husaini, 2004 : Bab III).

Tiga macam zionisme

Akhir abad ke-19 menyaksikan perkembangan zionisme yang pada umumnya diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yakni zionisme praktis, zionisme politik dan zionisme kultural. Kelompok pertama menganggap bahwa pembebasan yahudi dunia dapat dipengaruhi oleh penekanan pada pertanian kolektif Yahudi di Palestina. Tokoh utamanya adalah Aaron David Gordon (1856-1922).

Adapun kelompok kedua bercita-cita mendirikan sebuah Negara Yahudi yang mandiri dan tidak harus berada di tanah Palestina. Leo Pinsker dan Theodore Herzl pada awalnya berpendirian bahwa Negara Yahudi yang dicita-citakan tidak mesti berdiri di tanah Palestina, namun dapat juga di Argentina, Cyprus, Sinai dan Uganda dengan pertimbangan masih minimnya penduduk di empat Negara tersebut.

Sementara itu zionisme kelompok terakhir adalah zionisme kultural yang lebih menekankan pendekatan metafisik terhadap ide zionisme. Mereka mengedepankan pandangan-pandangan seperti superioritas ras Yahudi di atas ras-ras lainnya dan mendambakan kebangkitan kembali kultur Yahudi, penegasan identitas yahudi yang murni dan bersih dari pengaruh asing dan kebiasaan-kebiasaan diaspora. Dalam pandangan mereka proyek Palestina terutama dilihat bukan dari nilai politik atau ekonominya, tetapi sebagai pusat untuk mengembangkan budaya dan élan Yahudi (BPP-Deplu, 1986 : 4-6).

Theodore Herzl pada akhirnya berhasil mempersatukan ketiga kelompok zionis tersebut setelah pada tahun 1897 ia mengorganisir terselenggaranya Kongres Zionis Pertama di Basel, Swiss. Hal ini menandai lahirnya gerakan Zionis Internasional secara resmi (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 208).

Meski Herzl merupakan tokoh peletak dasar nasionalisme dan ideology zionisme, namun tokoh eksekutor sebenernya dari gerakan ini adalah David Ben Guorion yang justru menekankan tanah Palestina lah yang menjadi tujuan pendirian Negara bagi bangsa Yahudi (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : ibid)

Zionisme dengan demikian dapat dikatakan sebagai faktor internal bangsa Yahudi yang mendorong bangsa tersebut merealisasikan gagasan nasionalisme ekstrim mereka yang pada kenyataannya berseberangan dengan kehendak bangsa lain (Arab Palestina) penduduk tempat mana dituju bangsa Yahudi.

KONSTELASI POLITIK PASCA PERANG DUNIA I

Bisa dikatakan bahwa salah satu kejadian yang sangat mempengaruhi konstelasi Palestina pada awal abad ke-20 adalah meletusnya perang dunia pertama yang terjadi antara tahun 1914-1919. Pada masa itu kekuatan dunia terbagi ke dalam dua kelompok besar, kelompok Negara yang digawangi Jerman dan Turki di satu pihak dan Inggris dan Perancis di pihak lainnya. Pada masa tersebut Palestina masih berada di bawah Turki, tetapi pihak Inggris dan Perancis berupaya melucuti kawasan imperium Turki yang pada masa itu meliputi hampir keseluruhan Timur Tengah ditambah beberapa Negara Eropa seperti Hongaria dan Bulgaria. Inggris dan Perancis bermain mata dengan Amir-amir atau penguasa setempat di berbagai Negara Timur Tengah dengan menjanjikan kemerdekaan bagi pihak yang mau bekerjasama menentang Turki. Umpamanya, pada tahun 1915, kepada syarif Hussain diberikan janji jikalau bangsa-bangsa Arab bersedia berrperang melawan Turki, dan bila pihak sekutu menang, akan diberikan suatu Negara Arab. Tertarik oleh janji tersebut pada tanggal 5 Juni 1916 Syarif Hussain melancarkan pemberontakan terhadap Turki (BPPMLN-Deplu, 1976 : 5). Perjanjian ini dikenal dengan Perjanjian McMohan-Husayn atau Husayn-McMohan Correspondence yang secara implicit mencakup janji kemerdekaan wilayah Palestina (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 209, bd. Charles D. Smith, 1992 : 47).

Di samping itu pihak sekutu secara diam-diam mengadakan perjanjian yang dikenal dengan nama perjanjian Sykes-Picot pada 1916. Inti dari perjanjian tersebut adalah kemungkinan pembagian ghanimah berupa daerah-daerah bekas jajahan Turki ke tangan Inggris dan Perancis. Inggris akan memperoleh daerah Irak dan Transyordan, sedangkan Perancis akan mengambil alih Libanon dan Siria. Sementara itu posisi Palestina justru diinternasionalisasikan (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 209).

Nampak sekali adanya inkonsistensi Inggris berkaitan dengan posisi Palestina yang di satu sisi dijanjikan kemerdekaannya (bagi bangsa Arab) di sisi lain akan diinternasionalisasikan. Nasib Palestina makin bertambah runyam ketika Inggris, melalui Mentri Luar Negrinya Arthur James Balfour, bermain mata dengan pihak Yahudi, melalui Lord Lionel Rothchild ketua zionis Inggris, mendeklarasikan pemberian national home di tanah Palestina bagi bangsa Yahudi dalam sebuah deklarasi yang dikenal dengan deklarasi Balfour (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 210). Dengan demikian hubungan Arab (Palestina) –Israel memasuki babak baru, masa yang hampir menjadikan mimpi bangsa Yahudi comes true.

DEKLARASI BALFOUR

Penting untuk ditekankan bahwa pendekatan untuk melucuti kekuatan Negara Pusat (Jerman dkk.) juga dilakukan dengan rayuan terhadap bangsa Yahudi. Hal ini dapat dimaklumi bukan dari kacamata Yahudi sebagai kekuatan kecil di Palestina, tetapi kekuatan besar Yahudi di seluruh Eropa dan Amerika yang pada saat PD I belum terlibat. Sebagaimana diketahui pusat kegiatan zionisme internasional justru berada di Jerman. Bangsa Yahudi sudah sejak lama memiliki pengaruh yang cukup besar pada bidang media dan lobi internasional akibat kehidupan diaspora yang sangat lama di samping proyeksi bangsa Yahudi nantinya diharapkan dapat menjaga kepentingan Inggris terutama di terusan Suez (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 6, 2002 : 23, bd. BPPMLN-Deplu, 1976 : 6).

Sebenarnya bukan hanya pihak sekutu yang menaruh perhatian terhadap posisi Yahudi yang sangat strategis, Turki dan Jerman pada Desember 1918 dan Juli 1918 juga berupaya menarik Yahudi dalam kelompoknya dengan menawarkan suatu perjanjian yang menjanjikan Palestina untuk masyarakat Yahudi Eropa, namun dapat dikatakan bahwa tawaran tersebut sudah terlambat karena sebagian besar bangsa Yahudi sudah terlebih dahulu berorientasi mendukung pihak sekutu.

Kerjasama sekutu dengan pihak Yahudi ini tergambar dengan lobi Weizmann, seorang Yahudi Inggris, yang berusaha meyakinkan Pemerintahan Inggris agar membantu gerakan zionisme , guna menarik kaum Yahudi ke dalam pihak sekutu. Sehingga pada tanggal 2 Nopember 1917 Menteri Luar Negeri Inggris, James Balfour, mengeluarka deklarasi yang terkenal dengan istilah Balfour Declaration.

Bunyi sebagian deklarasi Balfour (dalam BPP-Deplu, 1986 : 10-11) sebagai berikut :

…”His Majesty’s Government view with favour the establishment in Palestine of national home for the Jewish people, and will use best endeavours to facilitate the achievement of this object, it being clearly understood that nothing shall be done which may prejudice the civil and religious rights of existing non-Jewish communities in Palestine, or right and political status enjoyed by Jewish in any other country”…

Dengan munculnya deklarasi ini, mimpi-mimpi Yahudi seolah akan menjadi kenyataan. Lebih jauh deklarasi ini memunculkan reaksi yang sangat keras dari bangsa Arab yang melihat deklarasi tersebut sebagai ancaman bagi stabilitas

Pasca Perang Dunia I dengan kemenangan di pihak sekutu, deklarasi Balfour diterima oleh semua pihak yang mengikuti konferensi San Remo bulan April 1920. Sejak saat itu pintu imigrasi bangsa Yahudi menuju Palestina dibuka sangat lebar. Bersamaan dengan itu mengalir pula modal-modal yang pada gilirannya mempercepat transfer property berupa tanah-tanah milik bangsa Arab Palestin menjadi miliki bangsa Yahudi. Jumlah imigran tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 1935, misalnya, jumlah imigran Yahudi asal Jerman mencapai 66.000 orang (Gerald Blake dkk., tt : 113).

Jelas sekali dampak deklarasi Balfour dan kemenangan sekutu memberikan percepatan migrasi besar-besaran bangsa Yahudi dari seluruh penjuru dunia menuju Palestina. Dengan demikian deklarasi Balfour dapat disebut sebagai fase awal bagi terwujudnya Negara Israel.

PARTISI PALESTINA MELALUI RESOLUSI PBB

Sebenernya kemenangan sekutu terhadap Turki dan Jerman tidak serta merta mewujudkan Palestina sebagai Negara merdeka bagi Israel. Hal ini terbukti dengan jarak yang cukup jauh antara kemenangan sekutu dengan proklamasi kemerdekaan Israel yang baru terealisasi pada 1948 (paling tidak ada jarak hampir tiga dekade). Penyebab utama yang menghambat proklamasi tersebut adalah penentangan pihak Arab. Penyebab lainnya adalah kebiasaan sekutu bermain mata dengan bangsa Arab karena bagi mereka dukungan bangsa Arab sangat besar pengaruhnya terutama setelah meletusnya perang Dunia II pada 1939.

Sebelum memasuki fase partisi PBB, Komite Tinggi Arab pada 1937 pernah melakukan pemogokkan besar-besaran, hingga Inggris terpaksa mengirimkan sebuah komisi penyelidik ke Palestina. Komisi mengusulkan agar Palestina dibagi menjadi tiga daerah yaitu;

1. Negara Yahudi, meliputi 1/3 wilayah Palestina, dengan penduduk 300.000 orang Yahudi dan 270.000 orang Arab;

2. Daerah mandat Inggris, yang meliputi Yalta dan Jerussalem;

3. Negara Arab disatukan dengan Trans Yordan.

Pembagian tersebut ternyata tidak diterima oleh Kongres Pan-Arab yang mewakili dunia Arab meskipun Kongres Yahudi sedunia dan Liga Bangsa-Bangsa menerimanya dengan bersyarat (DPPMLN, Deplu, 1976 : 8).

Pasca Perang Dunia II Liga Bangsa-Bangsa (LBB) berganti nama menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB/ United Nations). PBB memberikan rekomendasi yang termuat dalam resolusi PBB nomor 181 (II) tertanggal 29 Nopember 1947 yang membagi wilayah Palestina menjadi :

1. Negara Palestina (untuk orang Arab Palestina)

2. Negara Israel (untuk orang Yahudi Palestina)

3. Internasionalisasi kota Yerussalem di bawah PBB (DPPMLN-Deplu, 1976 : 9)

Nampak secara sepintas resolusi tersebut merupakan upaya PBB dalam mencapai win win solution. Pada gilirannya resolusi yang berisi partisi Palestina tersebut menandai fase baru bagi pembentukkan Negara Israel sekaligus pukulan telak bagi bangsa-bangsa Arab karena keputusan tersebut dikeluarkan oleh lembaga internasional sekaliber PBB yang tentu saja memiliki pengaruh dan dampak besar bagi kelanjutan konflik di Timur Tengah.

PROKLAMASI KEMERDEKAAN ISRAEL

Jika perseteruan antara dua bangsa yakni bangsa Arab Palestina dan bangsa Yahudi dalam memperebutkan wilayah yang sama atau masalah Palestina disebut sebagai faktor utama konflik Arab-Israel, sementara rentetan peristiwa sejak perjanjian Sykes-Picot, Deklarasi Balfour hingga partisi PBB atas Palestina dianggap sebagai faktor pendukung, maka peristiwa proklamasi berdirinya Negara Israel pada 14 Mei 1948 tentu merupakan faktor pemicu meletusnya konflik yang hingga kini masih berlangsung dan entah kapan berhenti.

Sebagai kelanjutan dari terbitnya resolusi PBB nomor 181 (II) tertanggal 29 Nopember 1947 pihak Inggris, sejak resolusi tersebut bergulir, secara bertahap menarik pasukannya dari Palestina. Akibatnya suasana di Palestina sermakin mencekam.

Masing-masing pihak baik Yahudi maupun Arab Palestina melancarkan serangan silih berganti. Pihak Inggris yang secara de facto masih memegang kendali terhadap wilayah Palestina merasa kewalahan menghadapi situasi seperti itu, sehingga Inggris mengembalikan mandat lebih cepat dari tenggat waktu yang ditentukan pada tanggal 14 Mei 1948.

Situasi ini dimanfaatkan pihak Yahudi untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Dengan demikian berdirilah Negara Israel yang diikuti pengakuan Amerika dan Uni Sovyet terhadap eksistensi Negara baru tersebut.

Peristiwa terakhir ini merupakan penyulut bom waktu yang sudah sejak lama tertanam menjadi sebuah ledakan kemarahan besar bangsa-bangsa Arab di Timur Tengah. Tidak kurang dari Suriah, Libanon, Transyordan, Irak dan Mesir memobilisasi pasukan perangnya memasuki wilayah Palestina. Meletuslah Perang Arab-Israel I pada 1948 yang berakhir dengan kekalahan absolute di pihak Negara-negara Arab.

Setidaknya pernah ada empat kali perang, tahun 1948, 1956, 1967 dan 1973, sebagai akibat adanya konflik Arab-Israel. Perang itu tidak hanya melibatkan Negara-negara Arab yang menjadi tetangga wilayah konflik, seperti Mesir, Suria, Yordania dan Libanon, tetapi juga melibatkan juga Negara yang jauh dari wilayah itu seperti Amerika Serikat dan Inggris (M. Riza Sihbudi dkk., 1993 : 42).

Perang pada 1956 disebut juga perang Suez, disebabkan rencana Nasser menasionalisasi Terusan Suez yang pada waktu itu berada dibawah kendali perusahaan merger Inggris dan Perancis yakni Anglo-French Suez Canal Company. Pada perang ini pihak Israel mendompleng kekuatan Inggris dan Perancis dan pada akhirnya tidak merubah peta wilayah Israel.

Namun akibat dari perang 1956 adalah penempatan pasukan perdamaian PBB di semenanjung Sinai yang tentu saja membuat gerah kedua Negara yang berbatasan yakni Mesir dan Israel. Suasana ini menimbulkan ketergangan ditambah upaya pengusiran pasukan PBB di Sinai oleh Mesir serta pembentukan Unified Arab Command yang pada gilirannya menyebabkab Israel mengadakan upaya pre-emptive strikes terhadap Mesir, Siria, Yordania dan Irak pada selama 6 hari hingga tanggal 5 Juni 1967 (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 213-215). Dalam beberapa hari perang Israel mampu menduduki wilayah dua kali lebih besar dari wilayah Israel, yakni seluruh semenanjung Sinai sampai ke Terusan suez, Jalur Gaza, seluruh West Bank yang sebelumnya berada di bawah Yordan, Dataran Tinggi Golan milik Suriah, Kepulauan Tiran dan Sonafir milik Saudi (BPP-Deplu, 1986 : 76).

Adapun perang 1973 bertepatan dengan hari Yom Kippur atau hari penebusan dosa bagi orang Yahudi selain juga bertepatan dengan bulan Ramadan. Perang tersebut tidak membawa konsekuensi apapun pada peta wilayah Yahudi pasca perluasan 1967.

Masih ada beberapa perang yang terjadi pasca 1973, namun tulisan ini perlu diakhiri pada titik ini karena akan terlalu luas. Apalagi bila kita mempertimbangkan kontinuitas konflik yang masih berlangsung hingga detik ini.

Epilog

Berdasarkan uraian sederhana di atas, kiranya tampak jelas betapa rumitnya persoalan Palestina. Nampak betapa pengaruh eksternal sudah sejak dini terlibat dimulai dari masuknya Inggris sebagai pemegang mandate, pembagian (partisi) wilayah oleh PBB, peran negara-negara Arab di sekelilingnya, hingga pengaruh Uni soviet dan Amerika. Bahkan belakangan Uni Eropa mengambil andil sebagai penyeimbang kekuatan Amerika saat ini.

Berlarut-larutnya masalah Palestina tidak hanya disebabkan faktor eksternal bangsa Arab, namun juga disebabkan pertikaian internal di antara Negara-negara Arab yang pada gilirannya senantiasa bertekuk lutut di hadapan Israel.

Konsep nasionalisme yang melahirkan Negara bangsa bukan menjadi berkah tetapi menciptakan sekat-sekat primordial yang pada akhirnya mempengaruhi segala tindakan yang selalu dikalkulasi dengan untung rugi. Beberapa pangkalan militer yang bercokol di beberapa Negara Arab cukup memberi testimoni.

Pada akhirnya sikap pesimisme menyeruak ke tengah jiwa-jiwa yang hampir putus asa. Salahkah mereka? Atau Anda?



[*] Mahasiswa SPS UGM Program Studi Kajian Timur Tengah CP : 081575720604

Tidak ada komentar:

Posting Komentar