Jumat, 13 Februari 2009

Reviewku

Book Review

Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai

Penulis : Zamakhsyari Dhofier

LP3ES, tt

Periview : Fuad Munajat

Tesis dan proposisi dalam tulisan Dhofier

Tesis utama yang diajukan Zamakhsyari Dhofier (selanjutnya disebut Dhofier) dalam karyanya Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai adalah dinamika Islam tradisional di tengah perubahan masa. Tesis ini sekaligus merupakan pernyataan penolakannya terhadap hasil kajian mayoritas sarjana Barat dan sebagian sarjana Indonesia yang selama ini memandang Islam Tradisional sebagai sebuah fenomena yang stagnan dan tidak sejalan dengan gelombang modernisasi di Indonesia.

Melalui tesisnya tersebut Dhofier memokuskan perhatian pada tradisi pendidikan Islam tradisional di mana pesantren memegang posisi sentral dan mengerucutkan perhatian pada pandangan Kyai dalam kehidupan kepesantrenan.

Dalam bagian pendahuluan bukunya, Dhofier menandaskan “…selama ini sering disimpulkan bahwa para Kyai, karena sangat terikat oleh ajaran-ajaran kaum Sufi dan mengamalkan tarekat, dianggap telah mengamalkan Islam yang salah. Islam yang hanya mementingkan hidup akhirat dengan melupakan kehidupan duniawi” (Dhofier, tt : 2).

Pernyataan ini menyiratkan adanya penyimpulan yang sangat meyederhanakan persoalan dan lebih jauh merupakan klaim negatif terhadap kedinamisan pandangan Kyai.

Sebagai langkah awal kajiannya, Dhofier menyusun beberapa proposisi yang diharapkan dapat menghantarkan kepada kerangka berpikir tulisannya.

Proposisi-proposisi itu antara lain (Dhofier : 12-14) :

1. Islam telah menyebar di Jawa melalui proses yang tidak mudah, penuh tantangan dan secara gradual. Graduasi penyebaran Islam terjadi dalam 2 tahap di mana tahap awal menyiratkan proses inisiasi sekedarnya. Sedangkan tahap kedua adalah tahap pemantapan atau penyempurnaan.

2. Pada masa pemantapan Islamisasi ini Belanda datang dan melakukan pembatasan-pembatasan terhadap penyebaran Islam. Akibatnya Islam yang sebelumnya memainkan peran besar sebagai kekuatan sosial, kultural dan politik tersudut posisinya dan domain perjuangannya bergeser ke pedesaan. Akibat lanjutan dari keadaan ini Kyai sebagai tokoh Islamisasi semakin memokuskan diri pada bidang keagamaan.

3. Sektor perdagangan yang sebelumnya menjadi sektor yang melalui mana Islamisasi erat dihubungkan bergeser ke sektor pertanian akibat dari monopoli perdagangan yang dilancarkan Belanda. Pergeseran ini semakin memuluskan jalan Islamisasi oleh mubalig-mubalig profesional.

4. Para Kyai lebih mengutamakan pendekatan persuasi dalam menarik simpati pengikutnya. Dengan demikian para Kyai sedari awal tidak membuang sarana –sarana yang sudah dikenal penduduk sekitarnya.

Dhofier secara eksplisit menyebut ketahanan lembaga pesantren dalam perjalanan waktu sebagai diakibatkan oleh kesuksesan yang diraih lembaga tersebut dalam menghasilkan kader ulama yang berkualitas tinggi yang dijiwai oleh semangat untuk menyebarluaskan dan memantapkan keimanan orang-orang Islam, terutama di pedesaaan di Jawa. Hal ini tentu menjelaskan betapa fungsi yang dimainkan pesantren begitu penting dan sampai batas tertentu belum tergantikan oleh lembaga lain.

Upaya Kyai mendinamisasikan pesantren

Dhofier mensinyalir beberapa kesalahan penyimpulan sarjana-sarjana Barat ketika mereka menarik kesimpulan bahwa Islam tradisional secara umum dan terutama terwakili dalam kepemimpinan seorang kyai di pesantren merupakan kelompok yang stagnan dan dalam batas tertentu menjadi penghambat modernisasi. Dengan mengambil sampel pesantren Tebuireng sebagai mercusuar pembibitan hampir sebagian besar kader ulama di Jawa dan Madura, Dhofier secara meyakinkan menunjukkan bahwa sinyalemen stagnasi yang digembar-gemborkan sarjana Barat jelas tidak terbukti. Dhofier menyebutkan beberapa transformasi progresif yang dilakukan pesantren Tebuireng dalam perjalanan waktunya. Di antara progresifitas tersebut antara lain :

  1. pesantren Tebuireng mendirikan pondok khusus bagi wanita
  2. pesantren Tebuireng mendirikan Universitas Hasyim Asyari di mana mahasiswa dan mahasiswi dimungkinkan melaksanakan perkuliahan dalam satu ruangan
  3. pesantren Tebuireng mendirikan sekolah umum seperti SMP dan SMA

Di samping melakukan inovasi-inovasi sebagaimana tersebut di atas pesantren Tebuireng juga mendirikan lembaga-lembaga baru yang berupaya melestarikan ajaran-ajaran Islam. Dengan kata lain pesantren Tebuireng tetap menjaga tradisi keilmuan Islam ketika pada tahun 1971 Pesantren Tebuireng mendirikan madrasah huffadz, madrasah yang khusus dipersiapkan untuk melahirkan penghafal-penghafal Qur’an. Kecuali itu pesantren Tebuireng juga menjadi pusat persemaian Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah yang menjadi ordo tarekat terbesar di Indonesia. Fenomena tarekat, sebagaimana sering diklaim sarjana Barat sebagai bentuk orientasi yang bertendensi keakhiratan, dinilai sebagai bukti Islam tradisional sesungguhnya sangat bertentangan dengan modernisasi. Belum lagi tuduhan sebagian besar kelompok Islam moderen yang terang-terangan menyebut pengamal tarekat seringkali melakukan hal-hal yang dianggap syirik (Dhofier : 150).

Kedua hal yang disebut terakhir baik pendirian madrasah khusus penghafal Qur’an dan kesedian pesantren Tebuireng didaulat menjadi pusat Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah yang dilakukan berbarengan dengan pendirian SMP dan SMA, Universitas Hasyim asyari dan _jauh sebelumnya_ pendirian pondok khusus putri, merupakan khas Islam tradisional yang senantiasa mengkombinasikan kekayaan khazanah warisan Islam dan inovasi-inovasi yang bermanfaat.

Periview mungkin dapat mengungkapkan secara lebih ringkas dengan slogan yang terkenal di kalangan Islam tradisional al-Muhafadzah ‘ala al-Qadiim al-Shaalih wa al-Akhdzu bi al-Jadiid al-Ashlah yakni ‘melestarikan hal baik yang berasal dari masa lampau dan mengadopsi hal baru yang lebih bermanfaat’.

Tidak hanya mengambil sampel pesantren besar seperti pesantren Tebuireng, Dhofier juga membuktikan adanya transformasi dalam pesantren kecil yang dicontohkan dengan pesantren Tegalsari di Salatiga. Namun berbeda dengan pesantren besar, pesantren Tegalsari sedari awal pendiriannya memang ditujukan bagi penduduk di daerah pedesaan yang belum mengakrabi Islam. Dalam hal ini pesantren Tegalsari tidak dimaksudkan_sebagaimana tipikalitas pesantren-pesantren kecil lainnya_ untuk mencetak kader-kader ulama.

Dalam perjalanan perkembangannya, pesantren Tegalsari baru mendapatkan pengaruh yang lebih besar setelah menantu Kyai pendiri mengintrodusir pelaksanaan tarekat Naqsyabandiyyah (Dhofier : 128). Hal ini dapat dijadikan indikasi betapa tarekat menjadi sarana yang ampuh bagi proses islamisasi di daerah yang penduduknya belum mengenal Islam secara mendalam.

Realitas lain yang dapat dicatat dari perkembangan pesantren Tegalsari adalah perannya sebagai penyedia sarana pendidikan Islam tingkat dasar yang nantinya akan menyuplai pesantren-pesantren besar yang biasanya menyediakan pendidikan Islam tingkat menengah dan tinggi. Dilihat dari korelasi ini dapat dikatakan di antara pesantren besar dan pesantren kecil terdapat hubungan mutualisme di mana pesantren kecil mendidik santri tingkat dasar sebagai persiapan menuju pendidikan di pesantren besar. Sebaliknya pesantren-pesantren besar menyediakan kader-kader terbaiknya untuk mengasuh bahkan mendirikan pesantren-pesantren di pelosok pedesaan.

Sarana-sarana yang digunakan untuk menegarkan pesantren

Tulisan Dhofier sesungguhnya juga melukiskan kejeniusan para kyai dalam menegarkan dan secara simultan mengembangkan pesantren. Secara ekspilisit Dhofier menyebut beberapa cara yang pada gilirannya menjadi sarana utama kyai menegarkan pesantrennya. Di antara cara-cara tersebut (Dhofier : 61-62) adalah :

1. mengembangkan suatu tradisi bahwa keluarga terdekat harus menjadi calon kuat pengganti kepemimpinan pesantren

2. mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan endogamous antara keluarga kyai; dan

3. mengembangkan tradisi transmisi pengetahuan dan rantai transmisi intelektual antara sesama kyai dan dan keluarganya.

Jika diperhatikan secara seksama ketiga cara yang disebut Dhofier pada dasarnya mengerucut pada dua sarana, keluarga dan ijazah. Kedua sarana tersebut dapat dianggap berperan vital dalam menegarkan keberadaan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam tradisional. Di samping kedua sarana tersebut baik penguatan keluarga dan ijazah terdapat pula sarana tarekat yang memainkan peranan cukup menyolok. Hingga dapat dikatakan seorang kyai selalu identik dengan seorang yang memiliki kemampuan dan memimpin tarekat.

Melalui pembinaan terhadap keluarga baik putra-putri kyai, menantu, maupun sanak famili diharapkan penegaran pesantren semakin terjamin. Hal ini didasarkan budaya Islam dan Jawa yang sangat memprioritaskan peran keluarga dalam pembentukan masyarakat islami. Para Kyai senantiasa menyitir firman Allah quu Anfusakum wa ahliikum naaraa, yakni selamatkanlah dirimu dan keluargamu dari siksaan api neraka.

Dhofier menunjukkan adanya geneologi yang sangat menyolok dalam penegaran pesantren-pesantren milik murid-murid Hadlratus Syaikh. Aliansi perkawinan Hadlratus Syaikh dan para kyai di selur Jawa sebagaimana digambarkan Dhofier pada diagram Islam dan penejelasannya pada halaman 64 dan 65 menyadarkan kita betapa diagram tersebut melukiskan betapa kuatnya system aliansi perkawinan di antara para kyai. Hal ini sebenarnya dapat dibaca juga sebagai geneologi kemunculan pesantren-pesantren di Jawa.

Periview jadi teringat ketika masih mondok di sebuah pesantren di Bogor, Jawa Barat (antara 1992-1998), di mana bukan hanya anak dan sanak famili sang kyai yang ikut dilibatkan dalam geneologi perkawinan tersebut tetapi lebih luas dari itu ustadz yang sebetulnya bukan keturunan kyai pesantren tersebut dikawinkan (sebagai wakil dari pesantren tersebut) dengan seorang putri dari kyai besar di Jakarta. Motif dibalik perkawinan tersebut adalah memperkuat hubungan kedua pesantren meski bukan dilakukan oleh anak atau sanak famili kyai.

Adapun sarana ijazah _pemberian lisensi keberhasilan belajar seorang santri, biasanya secara lisan, dan izin mengajar_ menjamin kesinambungan dan kemurnian baik matter (materi pelajaran) maupun silsilah mata rantai keilmuan keislaman yang senantiasa menggambarkan posisi ulama sebagai warotsatu al-anbiya, pewaris para nabi. Dengan demikian seorang santri yang di kemudian hari akan menjadi Ulama memiliki legalitas yang kuat dengan menunjukkan keterkaitannya dalam mata rantai keilmuan. Para kyai sering menyitir Hadits Nabi Muhammad saw yang artinya “Siapa yang belajar tanpa guru, maka gurunya adalah setan”. Hadits tersebut dapat menjelaskan keterikatan murid dengan guru dalam tarekat tetapi tidak jarang Hadits itu diucapkan kyai dalam konteks mata rantai transmisi keilmuan di pesantren.

Lebih dari itu Dhofier juga memperlihatkan adanya keterkaitan mata rantai keilmuan antara kyai-kyai di Jawa dengan ulama asal Jawa yang telah menduduki posisi internasional dalam bidang keislaman. Dhofier menyebut beberapa nama seperti Syekh Ahmad Khatib Sambas, Syekh Nawami Banten, Syekh Abdul Karim, Syekh Mahfud al-Tarmisi (Dhofier : 85-90). Keterkaitan ini pada gilirannya menciptakan kesamaan/kesatuan (homogenitas) silabi yang digunakan pesantren-pesantren di Jawa.

Di samping itu hal ini juga dapat menjawab tuduhan-tuduhan sarjana Barat yang mengeneralisasi Islam Jawa sebagai bentuk sintesa (dalam pengertian negatif) dengan unsur non-Islam. Jelasnya, fenomena Islam tradisional memiliki akar yang kuat dan bertasal dari mata rantai khazanah Islam dunia dengan para ulama Indonesia/ Jawa mengambil peran didalamnya. Maka tidak heran kalau syekh Nawawi Banten pernah dijuluki Sayyid ulama al-Hijaz pemimpin ulama Hijaz (daerah yang meliputi Mekkah dan Madinah) (Dhofier : 89).

Sarana yang tidak dapat diabaikan keberadaanya dalam penegaran pesantren adalah tarekat. Dhofier membatasi pengertian tarekat sebagai “suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan syariah Islam dan mengamalkannya sebaik-baiknya baik yang bersifat ritual maupun sosial; yaitu dengan menjalankan praktek-praktek wira’i, mengerjakan amalan yang bersifat sunnat baik sebelum maupun sesudah sembahyang wajib, dan mempraktekkan riyadhah “(Dhofier : 136). Pengertian tarekat sebagaimana diajukan Dhofier mengecualikan tarekat-tarekat yang tidak menonjolkan unsur syariah atau dalam peristilahan umum dikenal sebagai tarekat ghair mu’tabar.

Fenomena pesantren Tegalsari membuktikan keampuhan sarana tarekat dalam merangkul pengikut-pengikut yang belum mengenal Islam secara memadai. Data penelitian yang diperoleh Dhofier, baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur, berkaitan dengan pengikut tarekat memperlihatkan adanya fenomena keanggotaan yang didominasi orang lanjut usia (Dhofier : 139) di samping motivasi santrinisasi kaum abangan sebagaimana terjadi pada kasus tarekat syattariyyah dan siddiqiyyah (Dhofier : 142).

Ahlussunnah wal jama'ah sebagai dasar ideologis kyai

Seluruh tindakan, perbuatan, amalan-amalan dan kreasi yang dilakukan para kyai sebenarnya memiliki rujukan dan dasar ideologis yang sama dengan dasar dan rujukan mana umat Islam di seluruh penjuru dunia. Adanya kesamaan dasar ideologis ini tidak serta merta mewujudkan praktek yang identik pada tiap-tiap pemeluk Islam. Pun demikian halnya dengan praktek keagamaan kyai yang didasarkan atas ideologi Ahlussunnah wal jama'ah yang juga diklaim oleh mayoritas muslim dunia.

Namun demikian ada spesifikasi ideologi Ahlussunnah wal jama'ah yang dipraktekkan para kyai sebagaimana dikutip Dhofier dari pernyataan KH Bisyri Musthafa yang menyatakan bahwa paham Ahlussunnah wal jama'ah adalah paham yang berpegang teguh pada tradisi sebagai berikut :

1. dalam bidang hukum-hukum Islam Ahlussunnah wal jama'ah menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab empat (baca : Maliki, Hanafi, Syafi’I dan hambali). Dalam praktek, para kyai adalah penganut kuat madzhab Syafi’i.

2. dalam bidang tauhid, Ahlussunnah wal jama'ah menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hassan Al-Asyari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi.

3. dalam bidang tasawuf, Ahlussunnah wal jama'ah menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim Al-Junaid (Dhofier : 149).

Spesifikasi Ahlussunnah wal jama'ah dalam pandangan kyai merupakan pilihan yang sangat lentur dan sesuai dengan kondisi umat Islam Indonesia. Meskipun ideologi Ahlussunnah wal jama'ah sepintas menyaran kepada ideologi tertutup dan memberi kemungkinan dugaan pihak lain akan keterbelengguan dan kejumudan penganutnya, tetapi dalam praktik para kyai menunjukkan kebebasan mereka dalam menafsirkan ketentuan-ketentuan madzhab.

Hal ini sebagaimana pernyataan Dhofier bahwa “para kyai bukanlah sarjana-sarjana Islam yang picik pikirannya, yang secara buta mengikuti paham suatu madzhab tanpa memiliki kemampuan untuk menyesuaikannya dengan kondisi-kondisi social dan geografis tertentu” (Dhofier : 159). Namun demikian kebebasan yang diberikan mempersyaratkan ketentuan-ketentuan yang ketat sehingga tidak setiap pribadi dianggap otoritatif.

Dasar ideologis yang lentur inilah yang memungkinkan kyai merespon perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya tanpa harus melenyapkan inti ajaran dan hakikat Islam itu sendiri. Memang benar pendapat yang mengatakan tidak ada sesuatu yang genuine dalam dunia moderen seperti saat ini, tetapi pandangan tersebut tidak serta merta menghilangkan karakter asasi Islam tradisional sebagai sebuah entitas yang memiliki élan vital yang kuat.

Komentar Periview terhadap tulisan Dhofier

Tulisan Dhofier berjudul Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, tak pelak membuka wacana baru (setelah penelitian tersebut dilakukan, 1977-78) berkaitan dengan fenomena Islam tradisional yang sebelumnya banyak dipojokkan oleh sarjana Barat sebagai kelompok yang bertentangan dengan semangat modernisme. Apa yang dilakukan Dhofier tampak sebagai perspektif orang dalam (insider perspective) yang memberikan penilaian terhadap sesuatu yang sangat mungkin dialami oleh penulisnya sendiri. Sebagai peneliti insider Dhofier sangat fasih mengartikulasikan pandangan para kyai dengan bahasa yang lugas.

Namun demikian kritik atas tuduhan-tuduhan sarjana Barat dan sebagian muslim belum dijawab secara tuntas. Bagian yang disoroti Dhofier hanya meliputi lembaga pendidikan Islam tradisional dalam bentuk pesantren dan para kyai sebagai pengasuhnya. Hal ini tentu akan mengabaikan sisi-sisi lain dari Islam tradisional yang justru mendapat sorotan seperti ritual-ritual keagamaan dan sisi mistik Islam yang sebenarnya juga memiliki akar Islam yang kuat namun dalam praktek terlihat seperti anak panah yang keluar dari busurnya.

Memokuskan perhatian pada pandangan kyai sama halnya dengan mencoba mengurai tradisi agung dari sebuah bangunan budaya. Hal ini disebabkan kedekatan kyai dan aksesibilitasnya terhadap sumber Islam.

Bagi saya tulisan Dhofier tetap harus diberi apresiasi sebagai pembuka wacana baru (pada saat itu) dan memancing peneliti-peneliti sesudahnya untuk menjadikan Islam tradisional sebagai objek kajian yang menarik. Data-data yang ditemukannya juga memberi peluang bagi peneliti kemudian untuk mengeksplorasi lebih lanjut unsur-unsur Islam tradisional yang menjadikannya begitu sempurna merasuk ke dalam masyarakat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar