Jumat, 13 Februari 2009

Mazhab Humanisme Baru dalam Kritik Sastra Kontemporer

MAZHAB HUMANISME BARU

Dalam Kritik Sastra Kontemporer

Fuad Munajat

Pendahuluan

Secara umum saya mengakui materi pokok yang dibicarakan tulisan berikut belum memiliki landasan yang cukup kuat. Hal ini dikarenakan mazhab neohumanisme (humanisme baru), yang menurut Dr. Ahmad Rahmani ini muncul pada abad sebelum ini, belum banyak dibahas dalam buku-buku kritik sastra kontemporer. Walaupun penulis buku Nadzariyya:t Naqdiyya Wa Tathbi:qa:tuha: tersebut mengutip adikarya Rene Wellek sebagai referensinya namun kutipannya bukan mengenai mazhab baru ini ( Lih. Misalnya Rahmani, 2004 : 82). Pun demikian dalam Encyclopedia Americana, saya tidak menemukan lema yang secara spesifik menyebut mazhab ini.

Sulit kiranya membicara mazhab humanisme baru tanpa mengaitkannya dengan pembahasan mengenai humanisme. Hal ini dikarenakan munculnya humanisme baru merupakan kelanjutan dari mazhab humanisme yang meliputi kontradiksi-kontradiksi yang salah satu kutubnya mengedepankan spiritualisme keagamaan sebagai landasan paradigmanya.

Dengan demikian pada kesempatan awal saya akan mengetengahkan terlebih dahulu mazhab humanisme dengan berbagai aliran yang turun darinya.

Mazhab humanisme sebagai induk humanisme baru

Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat-nya menyatakan nomenklatur Humanisme memiliki arti antara lain :

1. Menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi.

2. Menganggap individu sebagai sumber nilai terakhir.

3. Mengabdi pada pemupukan perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional dan berarti tanpa acuan pada konsep-konsep tentang yang adikodrati.

Pemakaian istilah humanisme dalam sejarah filsafat memiliki akar pada Protagoras ketika ia mengangkat manusia sebagai ukuran (Lorens Bagus, 2000 : 295). Sedangkan dalam masa renaisans istilah tersebut merujuk pada gerak balik kepada sumber-sumber Yunani, dan kritik individual serta interpretasi individual kontras dengan tradisi skolastisisme dan otoritas religius. Maju lagi ke abad berikutnya, istilah tersebut sering dipakai dalam kontras dengan teisme, yang menempatkan dalam manusia sumber kebaikan dan kreatifitas. Sementara itu Shiller dan W. James menggunakan istilah itu dengan menganggapnya sebagai pandangan yang bertolak belakang dengan absolutisme filosofis. Penekanan kedua tokoh ini terdapat pada alam dan dunia yang terbuka, pluralisme, dan kebebasan manusia (Lorens Bagus, 2000 : 296).

Ali Syariati mendefinisikan humanisme sebagai aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia. Faham ini memandang manusia sebagai makhluk mulia, dan prinsip-prinsip yang disarankannya didasarkan atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok yang bisa membentuk spesies manusia. Dewasa ini terdapat empat aliran pemikiran penting yang kendati pun memiliki perbedaan-perbedaan pokok dan pertentangan-pertentangan satu sama lain, keempat-empatnya mengklaim diri sebagai pemilik humanisme, yaitu : Liberalisme Barat, Marxisme, Eksistensialisme dan Agama (Syariati, 1410 H : 39).

Nampak dari dua definisi di atas bahwa baik Lorens Bagus maupun Syariati sepakat mengenai adanya fenomena perkembangan humanisme yang bergerak menuju pertentangan-pertentangan di mana aliran-aliran filsafat Barat di satu sisi berada pada ruang yang terletak diametral dengan agama. Sulit menerka mana di antara keempat aliran tersebut, sebagaimana disebut Syriati, yang paling humanis. Bahkan Perwira Alengka (nama samaran seorang dosen Filsafat Universitas Parahyangan Bandung) menyebutkan bahwa kelompok Katolikpun mengklaim diri sebagai pihak yang paling humanis (http//www.Indo-News.com). Tentu kita telah memahami adanya pertentangan antara kelompok ini dengan rivalnya yang protestan.

Lebih jauh Alengka memaparkan bahwa istilah humanisme secara historis merupakan sebutan bagi gerakan kultural abad ke -17 an di Eropa. Namun dalam perkembangannya semangat yang hendak menegakkan kemanusiaan ideal sesuai martabat manusia yang unik itu ternyata berkembang biak dalam aneka bentuk yang demikian beragam, bahkan saling bertentangan. Sebut saja eksistensialisme, pragmatisme, Marxisme, humanisme Inggris, dan sebagainya (http//www.Indo-News.com).

Dengan demikian istilah ini kini memiliki berbagai konotasi dan tidak lagi bisa dilihat semata-mata sebagai aliran-aliran filsafat barat tertentu. Sebagai ideologi ataupun sebagai produk formasi diskursif tertentu. Kalaupun sebagai semangat dasar ia seperti masih hidup terus hingga kini, sehingga lebh baik humanisme itu dipahami sebagai pencarian reflektif tentang apa artinya ‘menjadi manusia” dan hidup sebagai manusia yang sesuai dengan martabatnya pada tingkat terdalam.

Humanisme sebagai mazhab pemikiran juga digunakan dalam ranah kritik sastra. Penekanan kritik sastra mazhab ini nampak pada pengagungan nilai kemanusiaan dengan beragam pijakan aliran-alirannya yang terkadang berbau liberalis, eksistensialis, marxis, pragmatis maupun agamis. Dari poin terakhir inilah kita sebenarnya beralih pada perkembangan lebih lanjut dari humanisme menuju humanisme baru.

Humanisme Baru

Mazhab Humanisme Baru merupakan salah satu aliran kritik sastra yang lebih menekankan signifikansi isi atau kandungan sebuah karya sastra. Bersama-sama dengan aliran kritik Moralisme (Akhlaaqiyyah) dan kritik tematik (maudlu’atiy), mazhab ini mencoba memberi makna pada suatu karya berdasarkan fungsinya sebagai cermin bagi masyarakatnya (Rahmani, 2004 : 80).

Teori yang muncul pada abad ke-20 di Amerika ini beranjak dari asumsi bahwa ‘sastra merupakan kritik bagi kehidupan’. Dari sana tampak obyek garapannya adalah manusia sehingga menurut teori ini analisis terhadap manusia mesti sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan asasi manusia sebagai makhluk berakal, diberi tanggung jawab, bermoral dan tentu saja memiliki berbagai kecenderungan.

Berbeda dengan mazhab humanisme yang muncul pada abad sebelumnya, mazhab ini mendasarkan analisanya pada dasar keagamaan. Dari sini nampak bahwa neohumanisme yang kita bicarakan ini merupakan kelanjutan dari humanisme Kristen yang memang berbeda pendekatannya dengan humanisme awal yang kadang berkonotasi dengan rennaissans.

Alengka menyebutkan penderitaan-penderiataan negatif sebagai peletup humanisme baru seringkali bersikap lokal dan partikular. Terutama dari aneka penderitaan eksistensial, bukan dari spekulasi metafisik manusia menyadari apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan dan tidak dikehendaki. Dari pengalaman penderitaan riil pula manusia dapat menilai kembali apakah segala sistem dan diskursus yang smpat diagung-agungkan selama ini ada gunanya atau perlu dirombak.

Dari pengalaman negatif itu pula agaknya manusia pelan-pelan belajar menghayati suatu spiritualitas universal seperti yang diam-diam dihayati tokoh-tokoh kemanusiaan besar di segala penjuru bumi dan di sepanjang zaman. Yaitu spiritualitas yang dijiwai prinsip bahwa ‘nasib orang lain (termasuk musuh saya) adalah tanggung jawab saya’, inti kasih sayangt yang sebenarnya dikandung hampir semua tradisi keagamaan besar, namun sering dilupakan (http//www.Indo-News.com).

Karya Sastra sebagai cermin kehidupan

Adalah niscaya ketika sebuah karya sastra sarat dengan unsur-unsur teologis atau yang disebut juga sastra teologis. Dan tidak mengherankan jika kajian di dalamnya sangat ditekankan adanya keterkaitan erat antara sastra dan agama yang merupakan sumber etika. Maka mazhab humanis baru berupaya menganalisis estetika sastra sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan moral dan penghalusan budi manusia. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan, namun kebebasan yang dimaksud bukan hanya dari segi pergaulan tetapi juga suatu ketundukan terhadap hati nurani. Setelah madzhab tersebut mendasarkan diri pada agama yang kemudian memunculkan sastra teologis, ia terus beranjak pada wilayah filosofis yang nantinya akan melahirkan sastra filosofis, mengingat wilayah keduanya sangat berdekatan.

Kajian yang menggunakan pendekatan seperti ini sangat melimpah di Eropa. Tafsiran-tafsiran terhadap sastra teologis Dante memiliki jumlah yang tidak terhitung. Di antara karyanya adalah yang berjudul Divine Comedy (komedi ketuhanan) atau Al Kûmedî Al-Ilâhiyah dalam versi Arabnya (Rahmani, 2004 : 80-81).

Sementara itu di Rusia muncul kritikus dari kalangan ahli metafisika yang menafsirkan sastra dengan batasan-batasan sikap filosofis mereka. Namun fenomena ini memicu reaksi sebagian kritikus lainnya seraya mempertanyakan ‘apakah puisi dapat dikatakan lebih bernilai manakala lebih filosofis?. Lebih jauh mereka mempertanyakan ‘apakah mungkin suatu puisi dinilai berdasarkan nilai filosofis yang dikandungnya, atau berdasarkan derajat perenungannya yang tampak dari landasan filosofisnya? Atau bahkan penilaiannya diberikan berdasarkan orisinalitas filsafat atau derajat modifikasinya terhadap pemikiran tradisional? Sedangkan di Perancis dalam merespon fenomena ini muncul beberapa buku di antaranya ‘Sejarah Citarasa Keagamaan Prancis’ pada abad ke -17.

Rene Wellek pernah mengemukakan pertanyaan penting berkaitan dengan problematika hubungan antara sastra, pemikiran dan filsafat. Pada gilirannya dia berpendapat bahwa keberadaan pemikiran-pemikiran dalam karya sastra bukan sesuatu yang bertentangan sepanjang hanya sebatas bahan mentah berupa informasi dan tidak memunculkan kesulitan. Hal ini berbeda ketika pemikiran-pemikiran (filosofis) ini muncul dalam rajutan karya sastra sebagai simbol-simbol atau menjadi semacam mitos/ dongeng. Namun pada akhirnya ia menekankan untuk menyikapi sastra filosofis ini sebagaimana sastra lainnya, yaitu bukan dari segi materinya tetapi dari segi kekuatan seninya.

Dalam ungkapan yang lebih singkat dapat dinyatakan bahwa humanisme baru menawarkan paradigma yang relatif berbeda dalam melihat fenomena termasuk di dalamnya karya sastra di mana yang disebut terakhir dianggap sebagai cermin bagi kehidupan itu sendiri sehingga patokan moral diletakkan pada posisi yang cukup signifikan.

Penutup

Berdasarkan uraian singkat tersebut saya menyimpulkan bahwa aliran humanisme baru sebenarnya berangkat dari pemahaman sastra sebagai kritik bagi kehidupan. Di dalamnya terdapat peran penting manusia yang menjadi tema besarnya. Manusia yang diberi akal budi yang pada gilirannya meniscayakan lahirnya tanggung jawab dalam perjalanan hidupnya. Di sinilah letak pentingnya agama sebagai sumber nilai.

Demikianlah uraian sederhana mengenai mazhab humanisme baru. Tentu terdapat banyak kekurangan di berbagai tempat penyajian. Kritik dan saran sangat dinantikan guna penyempurnaan tulisan ini.

Daftar Pustaka

1. Ahmad Rahmani, Nadzariyya:t Naqdiyya Wa Tathbi:qa:tuha:, Maktaba Wahba, Alqa:hira, 2004

2. Ali Syariati, Humanisme; Antara Islam dan Mazhab Barat, Dar Al-Shahf, Teheran, 1410 H

3. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kedua, Pebruari 2000

4. http//www.Indo-News.com (Panji Alengka, sebuah nama samaran bagi seorang dosen Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar