Jumat, 13 Februari 2009

Review buku Woodward

Book Review

Islam Jawa; Kesalehan Normatif versus Kebatinan

Penulis : Mark R. Woodward

LKis Yogyakarta, 1999

Dialihbahasakan dari Islam in Java : Normatif Piety and Mysticism

In The Sultanate of Yogyakarta

Pengalih bahasa : Hairus Salim HS

Tesis utama tulisan Mark R. Woodward

Mark R. Woodward, selanjutnya disebut Woodward, berupaya menggambarkan Islam Jawa dari sudut yang berbeda dengan para pendahulunya. Woodward bukan hanya menepis pandangan seniornya Clifford Geertz _yang dengan terang-terangan melihat Islam Jawa sebagai fenomena sinkretik_ dan menganggap Islam dan sekali lagi Islam, bukan tradisi Hindu-Budha, yang lebih memainkan peran lebih dalam mewarnai Islam Jawa. Tesis utama Woodward adalah konsepsi keagamaan, dalam hal ini konsepsi Islam, mampu mentransformasi kebudayaan Jawa sehingga kebudayaan Jawa sebelum Islam tampil dalam balutan yang islami.

Sebagaimana telah disebut di atas bahwa tesis utama Woodward dalam karyanya tersebut adalah konsepsi keagamaan memiliki peran besar dalam mentransformasi kebudayaan tertentu dalam hal ini kebudayaan Islam Jawa. Konsepsi keagamaan dalam studi Woodward merujuk pada konsepsi-konsepsi Islam sebagai mana tercermin dalam literature keagamaan Islam. Konsepsi-konsepsi Islam tersebut ditransformasi melalui penafsiran orang jawa dan menghasilkan berbagai bentuk penafsiran baru sebagaimana terekam dalam Babad Tanah Jawi dan sejumlah serat seperti serat Centini, serat Cebolek maupun serat Hidayat Jati.

Pernyataan Woodward tersebut memiliki signifikansi di tengah hasil kajian antropologi yang sebelumnya memotret Islam Jawa sebagai fenomena sinkretik, khususnya pandangan Geertz (1960) yang dalam banyak kesempatan dalam buku Woodward ini direspon secara negatif.

Geertz sebelumnya telah memotret Jawa, melalui sample Mojokuto (Pare), dan menyimpulkan Islam Jawa sebagai sebuah fenomena sinkretik dengan tiga varian keagamaannya, abangan, santri dan priyayi. Pengurutan penyebutan Geertz yang mendahulukan penyebutan dan pembahasan varian abangan, ketimbang santri dan atau priyayi sedari awal mengindikasikan besarnya porsi varian abangan dalam kuantitas dan kualitas Islam Jawa sebagaimana ia temukan di Mojokuto. Dengan demikian dari sudut pandang ini karya Woodward dapat disebut sebagai antitesa pandangan Geertz.

Di samping sebagai respon terhadap pandangan Geertz tentang Islam Jawa, tulisan Woodward juga dimaksudkan _sebagaimana secara eksplisit dinyatakan Woodward (Woodward : 4) _untuk menjawab pertanyataan yang diajukan Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam (1974) yang menyatakan betapa kemenangan Islam di Indonesia begitu sempurna. Jawaban sederhana diberikan Woodward dengan menyatakan bahwa hal itu “karena Islam merasuk begitu cepat dan mendalam ke dalam struktur kebudayaan Jawa. Hal ini disebabkan Islam dipeluk oleh keraton sebagai basis untuk Negara teokratik” (Woodward : 4).

Pernyataan Woodward yang terakhir membawanya pada kegiatan penelitian yang diupayakan untuk memahami secara lebih komprehensif bagaimana penetrasi Islam begitu efektif dan tanpa penggunaan kekerasan sebagaimana terjadi pada penetrasi Islam di berbagai belahan dunia lainnya.

Kecuali itu, kajian Woodward juga bertujuan untuk membuktikan bahwa Islam Jawa _sebagaimana banyak dipraktekkan orang Jawa_ bukanlah bentuk Islam yang diklaim oleh sebagian sarjana Barat sebagai Islam yang salah atau paling jauh hanya muslim nominal (Woodward : 2) dan tidak memiliki akar dari Islam itu sendiri. Woodward menyatakan bahwa Islam Jawa bukanlah fenomena yang terisolasi dari peradaban yang lebih besar yang mengelilinginya. Woodward menyebut Islam Asia Selatan melalui mana Islam Timur Tengah merembes ke dalam Islam Jawa.

Woodward menyebut dua tipe yang menjadi perhatiannya “kesalehan normatif” dan “kebatinan”. Kedua tipe tersebut pada dasarnya berakar pada perdebatan klasik dalam dunia tasawuf Islam. Kesalehan normatif dalam pandangan Woodward adalah seperangkat tingkah laku yang telah digambarkan Allah melalui utusannya Muhammad saw, bagi umat Islam. Kesalehan normatif dengan demikian merupakan bentuk tingkah laku di mana ketaatan dan ketundukan menjadi hal yang sangat penting (Woodward : 6).

Islam Jawa dalam pandangan Woodward

Istilah Islam Jawa sebagaimana digunakan Woodward dalam bukunya tersebut memiliki pengertian yang kurang ajeg. Pemahaman mengenai istilah Islam Jawa membutuhkan kecermatan dengan jalan memahami konteks pembicaraanya. Sebagai contoh istilah Islam Jawa dalam judul bukunya yang diikuti dengan anak judul “Kesalehan normative versus (periview lebih memilih terjemahan ‘dan’ alih-alih ‘versus’) kebatinan”, mengisyaratkan yang pertama sebagai genus dari bagian yang terdapat pada anak judul. Dalam hal ini Islam Jawa memuat baik kesalehan normative maupun kebatinan.

Pada bagian lain Woodward dengan terangan-terangan membedakan antara Islam Jawa dan Islam normative ketika mengomentari Geertz sebagai berikut, “Garis antara Islam Jawa dan Islam normative, bagaimanapun tidaklah sejelas seperti dilukiskan Geertz” (Woodward : 10). Hal ini mengindikasikan makna Islam Jawa yang dipertentangkan dengan Islam normative dan mendudukan kedua berlawanan sejajar. Contoh lain ketika Woodward _mengikuti pendapat Suparlan_ menyebut Islam Jawa sebagai varian mistik orang-orang Jawa baik priyayi maupun abangan sedangkan kejawen diartikan sebagai varian mistik orang-orang kebatinan (mystics) (Woodward : 3).

Apabila dicermati lebih seksama sebenarnya kerancuan-kerancuan penggunaan istilah yang dilakukan Woodward tidak bisa dihindari. Hal ini dikarenakan konsepsi Islam Jawa sebagaimana yang hendak digambarkan Woodward memiliki kisaran yang terkadang dianggap sempit tetapi terkadang dapat dianggap luas. Dengan demikan pada bagian ini diberikan sorotan kepada konsepsi Islam Jawa menurut Woodward sebagaimana dipahami periview dalam pembacaannya terhadap karya Woodward.

Sebelum Woodward ada beberapa kajian mengenai Islam Jawa terutama yang dilakukan sarjana Barat. Beberapa pendapat tentang Islam Jawa menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :

1. menurut Crawfurd orang Jawa menganut Islam ‘ortodoks’ tetapi memiliki kelonggaran dalam pengamalan hal-hal tertentu.

2. menurut Geertz orang Jawa tidak pernah memeluk Islam secara sungguh-sungguh apalagi di kalangan keratin. Islam hanya dianut sebagian kecil kaum pedagang (santri).

3. Hodgson menyatakan bahwa Islam Jawa memiliki kesamaan-kesamaan dengan Islam Timur Tengah dan Islam Asia Selatan seandainya Islam Jawa dilihat dari perspektif tradisi muslim secara keseluruhan dan bukan dalam kerangka dikotomi tradisional-modernis (Woodward : 2-3).

Ketiga pendapat mengenai Islam Jawa sebagaimana disebut di atas pada dasarnya memiliki dasar pijakan yang berbeda. Crawfurd pernah tinggal di Yogyakarta pada masa pemerintahan Raffles (1811-1815) sedangkan Geertz meski pernah berkunjung ke Yogyakarta namun pandangan-pandangannya mengenai agama (Islam) Jawa terutama ditarik dari kajiannya terhadap agama (Islam) Jawa Mojokuto (Pare, Jawa Timur). Sementara Hodgson meski banyak mendasarkan pandangannya mengenai Islam Jawa dari tulisan Geertz namun luasnya daerah kajian Hodgson yang meliputi hampir seluruh dunia Islam membawanya pada kesimpulan yang justru berbeda dengan Geertz.

Bagi Woodward _mengikuti pandangan Hodgson_ Islam Jawa memiliki karakter yang kurang lebih sama dengan Islam di belahan dunia lainnya. Woodward menemukan titik persamaan antara tradisi Islam Jawa dengan apa yang ada di Asia Selatan.

Woodward memisahkan dua sumber untuk tradisi-tradisi Islam Jawa yakni komunitas muslim India Selatan, khususnya Kerala, dan kerajaan-kerajaan Islam Dekkan dan India Utara. Dapat dikatakan bahwa Kerala dipengaruhi terutama oleh tradisi Arab yang berorientasi lebih kepada syariat, sedangkan Dekkan didominasi oleh orde keagamaan dan politik Indo-Persia yang sangat berorientasi kepada kehidupan tasawuf.

Woodward meyakini bahwa sebenarnya apa yang menegarkan Kebudayaan Islam Jawa adalah pengkombinasian antara unsur-unsur kedua tradisi tersebut. Unsur dasar Islam Jawa, termasuk arsitek masjid dan tradisi fiqh syafii tampaknya datang dari Kerala, sementara teori kerajawian, beberapa aspek ritual keraton dan teori mistik dibentuk oleh tradisi kerajaan Indo-Persia (Woodward : 81).

Periview justru melihat perbedaan dua tradisi baik Kerala maupun Dekkan berasal dari perdebatan klasik antara syariat dan tasawuf yang dalam literature Islam sendiri mulai terdapat keseimbangan manakala Al-Ghazali mendamaikannya dalam karya agungnya Ihya Ulum al-Din. Melalui tradisi Ghazali-lah Islam Jawa dan mungkin Islam nusantara mendapat pengaruh. Hal ini juga dibuktikan dengan banyaknya manuskrip Ihya Ulum al-Din dan terjemahannya yang tersebar baik di Jawa maupun nusantara secara umum.

Namun demikian Islam Jawa _dalam pandangan Woodward_ memiliki karakterisasi yang lebih menekankan sisi esoteris ketimbang sisi eksoteris. Hal ini dibuktikan dengan pengamalan ajaran Islam oleh lingkungan keraton Yogyakarta dan kalangan rakyat (agama rakyat). Prioritas penekanan pada sisi esoteris bukan berarti menentang syariat. Bagi penganut Islam Jawa pengamalan mistisisme harus mendapat wadah syariah. Sebagai contoh seseorang yang akan memasuki dunia mistik diharuskan melalui syarat syar’i berupa khitan. Contoh lain ritual-ritual krisis kehidupan selalu dipimpin atau diserahkan pelaksanaannya kepada seorang santri/ penghulu.

Kesalehan normative dan Kebatinan

Dua kategori yang diperkenalkan Woodward ini bukan dimaksudkan sebagai kategori-kategori sosiologis tertentu sebagaimana kategorisasi Geertz. Kecuali itu, Islam Jawa dan Islam normatif lebih baik dipahami sebagai orientasi keagamaan atau bentuk-bentuk kesalehan (Woodward : 11).

Woodward membatasi kesalehan normative sebagai seperangkat tingkah laku yang telah digambarkan Allah melalui utusannya Muhammad saw, bagi umat Islam. Kesalehan normatif dengan demikian merupakan bentuk tingkah laku di mana ketaatan dan ketundukan menjadi hal yang sangat penting (Woodward : 6). Dengan kalimat sederhana kesalehan normative adalah bentuk-bentuk tata laku sebagaimana dijalankan kaum santri yang lebih menekankan berpikir secara syariat.

Adapun istilah kebatinan (mysticism) menyaran pada aspek dalam (esoteris) dalam Islam. Terdapat dua kubu yang telah lama berselih paham dalam persoalan kebatinan Islam. Kubu pertama mereka yang menjalankan praktek tasawuf tetapi harus melalui tahapan syariat. Kelompok ini merupakan hasil pendamaian Al-Ghazali antara syariat dan tasawuf. Kubu yang kedua mereka yang berpandangan bahwa untuk mencapai kesatuan atau gnosis seseorang tidak mesti melakukan syariat.

Islam Jawa sebagaimana digambarkan Woodward, dalam banyak kesempatan berupaya mengkombinasikan kedua kubu yang saling berseberangan tersebut. Melalui posisi Sultan yang di satu sisi merupakan penguasa tertinggi dalam pemutusan perkara syariat tetapi di sisi yang lain mengatasi/ transenden atas hukum itu sendiri. Posisi Sultan yang demikian mengakibatkan Sultan tidak mesti terikat dengan syariat. Sultan Yogyakarta dalam hal ini dianalogikan dengan wali atau bahkan Nabi Khidir yang dalam Qur’an digambarkan sebagai seseorang yang secara lahir merusak atau menentang syariat tetapi secara batin justru berposisi lebih tinggi bahkan dari seorang Musa AS.

Namun demikian segala pengamalan mistik Sultan senantiasa dibalut dalam balutan syariat. Hal ini dibuktikan dengan penunjukan penghulu sebagai pejabat pelaksana syariat dan contoh-contoh yang telah disebut di muka.

Sampai di sini persoalan tentang pengkombinasian antara syariat dan mistik atau antara kesalehan normative dan kebatinan belum reda. Sifat kombinasi yang unik dan terlihat hanya pada tataran ide memang memunculkan dugaan miring sebagian kelompok masyarakat mulai dari tuduhan sinkretisme, syirik, bahkan di luar Islam. Hal ini bukan hanya didasarkan penggunaan perspektif tradisional-modernisme karena tipikalitas Islam Jawa sebagaimana dipraktekkan keraton Yogyakarta juga mendapat kritik pedas dari kelompok Islam tradisional. Kelompok yang disebut terakhir mendasarkan pendapat mereka pada Hadits nabi yang berbunyi nahnu nahkumu bi al-Dzawaahir Kita hanya dapat memberi keputusan hukum berdasarkan hal-hal yang terlihat (lahir). Konsekuensinya segala yang tidak tampak (batin) tidak dapat diterima secara syariat. Nampak dari sini orientasi Islam tradisional berbeda dengan Islam Jawa keraton Yogyakarta dan agama rakyat.

Perbedaan orientasi ini bukan tanpa sebab. Islam Jawa sebagimana dipraktekkan Sultan Yogyakarta dan sebagian rakyatnya merupakan bentuk respon yang kreatif terhadap kemunculan Islam di Jawa. di dalamnya terdapat kemauan untuk menyelaraskan Islam yang baru datang dengan kepercayaan lama yang telah mengakar beratus-ratus tahun lamanya. Konversi yang sempurna dengan melepas baju lama dan membuangnya begitu saja hanya akan menemukan kegagalan.

Penyelarasan yang pada bentuk luarnya merupakan penyelarasan antara Islam dengan kebudayaan pra Islam, pada hakikatnya analog dengan penyelarasan antara syariat dan tasawuf atau antara kesalehan normative dan kebatinan. Islam sedari awal telah menggabungkan (unifikasi) _meskipun dengan klaim Islam sebagai suksesor_ tradisi-tradisi besar sebelum Islam seperti ajaran-ajaran Ibrahim dan tradisi sufi Persia. Spirit ini yang mungkin diikuti para penguasa Mataram yang dengan sangat jenius menggabungkan unsur-unsur Islam dengan unsur pra Islam dengan memberi penafsiran yang didominasi penafsiran islami. Woodward secara eksplisit menyebut “Islam Jawa bukan semata reflika dari Islam Timur Tengah atau Asia Selatan. Lebih dari itu Islam Jawa bahkan merupakan tradisi spiritual dan intelektual dari dunia muslim yang paling dinamis dan kreatif” ( Woodward : 353).

Pada akhirnya di mata orang Jawa, Islam tidak lagi tampak sebagai sesuatu yang asing malahan sesuai dengan pola pikir orang Jawa.

Menempatkan Islam Jawa pada posisi semestinya (kasus Yogyakarta)

Islam yang berasal dari pusat yang sama ditanggapi beragam oleh penganutnya di berbagai belahan dunia. Demikian halnya orang Jawa dalam hal ini Yogyakarta merespon Islam sesuai dengan kondisi-kondisi yang melingkupinya ketika itu. Ditilik dari sisi ini pendapat beberapa ahli terutama sarjana Barat mengenai Islam Jawa sebelum Woodward menempatkan Islam Jawa pada posisi yang marjinal bahkan sering dianggap sebagai bukan bagian dari Islam yang benar.

Penilaian ini sangat menyudutkan dan dalam beberapa segi merugikan umat Islam karena mengeluarkan Islam Jawa dari komunitas yang lebih besar. Padahal dalam diri dan jiwa orang Jawa terpatri keyakinan yang sangat kuat bahwa mereka adalah muslim. Bahkan ketika mereka mati mereka mengharapkan dijalankannya prosesi pemakaman sesuai dengan tuntunan Islam.

Woodward lebih jauh menelusuri dasar-dasar Islam sebagaimana tercermin dalam peri kehidupan dan ritual orang Jawa. Woodward pada akhirnya menemukan bahwa bangunan kebudayaan Islam Jawa yang saat ini dipraktekkan justru memiliki akar yang kuat merujuk Islam. Dalam Islam telah ada kepercayaan tasawuf yang lebih menekankan aspek esoteris ketimbang aspek eksoteris. Melalui dunia tasawuf ini Islam mampu dipahami orang Jawa dan diterima tanpa adanya penaklukan-penaklukan militer sebagaimana halnya terjadi pada konversi Islam di belahan dunia lainnya.

Dalam hal ini penting diungkap peran besar keraton Yogyakarta dalam memformulasikan Islam Jawa sebagaimana terekam dalam teks-teks suci yang jarang sekali digali sebagai sumber kepercayaan orang Jawa. Woodward dengan cermat menemukan betapa Islam mendapat interpretasi kreatif dari pujangga-pujangga Jawa yang mampu menarik orang Jawa ke dalam Islam.

Analisis terhadap teks-teks suci inilah yang membedakan hasil antara kajian Woodward dan Geertz. Woodward menyatakan bahwa “Kegagalan para antropolog untuk mengekpresikan Islam agama Jawa dan organisasi sosialnya adalah akibat dari pemahaman yang tidak memadai terhadap dinamika dan keragaman pemikiran Islam dan perspektif teoretis yang tidak memungkinkan pertimbangan hubungan yang bisa dicapai antara sejarah (termasuk sejarah agama-agama), sifat struktural terhadap mitos dan ajaran, dan interpretasi simbolik” (Woodward : 357).

Woodward juga menandaskan pentingnya memperhatikan bentuk-bentuk oral atau bahan-bahan tertulis yang demikian besar bukan hanya karena data yang diberikannya tetapi juga karena semua itu merupakan sumber informasi dan inspirasi bagi para pelaku asli (native) (Woodward : 364). Perhatian yang cukup besar terhadap tradisi teks sebagai sumber analisis, membuat Woodward mampu menangkap makna terdalam dari tradisi Islam Jawa yang memang berbeda dari fenomena Islam di dunia lainnya tetapi sekaligus menemukan titik persamaan esensi tasawuf falsafi sebagaimana menjadi salah satu karakter dalam tradisi dunia Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar